Friday, December 16, 2011

Trauma



Sore-sore Anwar dan Roni berjalan menyusuri pinggir jalan yang di pinggirnya adalah got. Mereka berdua berjalan berdampingan yang salah satu dari mereka memegang sebuah keranjang yang biasanya digunakan untuk tempat ayam jantan. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh bunyi seekor anak kucing yang mungkin berumur beberapa minggu.

“War, lu dengar suara kucing gak?” tanya Roni pada Anwar setelah mendengar suara anak kucing.
Anwar tak terlihat oleh Roni, dan Roni mulai bingung. Ternyata Anwar sudah jauh di depan.
“War, kenapa lu??” tanya Roni heran.
“Gak.. gak ada apa-apa...” jawab Anwar santai.
“Kalo gak ada apa-apa, kenapa lu malah lari kayak ngeliat anak setan aja!”
“Kalo ama anak setan gua gak takut, gua lebih takut ama anak kucing... karena...” belum sempat Anwar menjelaskan bahwa dia takut sama kucing, Roni malah tertawa terpingkal-pingkal.
“Ha..Ha..Haaa.... masa’ lu takut ama anak kucing... Ha..Ha..Haa... yang gua tau, anak kucing itu lucu, imut dan lebih lucu dari lu... Ha..Ha..Haaa...”
“Hey, jangan ketawa lu... gua bukan takut ama anak kucing, tapi trauma, karena waktu kecil gua pernah digigit ama kucing besar waktu gua pegang anak kucing, ternyata kucing itu induknya.. makanya ampek sekarang gua trauma ama anak kucing..”
“Ha..Haa... sampek sakit perut gua. Emang tuh anak kucing lu apain? Sampek induknya marah terus gigit lu?!”
“Gak tau juga, gua lupa..”
SEKIAN..

Kenangan Terakhir


Matahari senja yang indah menghiasi pesisir pantai Karang Taruna, sinar jingganya menghampar di sepanjang garis pantai. Aku berjalan menyusuri sepanjang garis pantai yang tidak terlalu luas itu, dan dengan santai sambil siul-siul aku mencari seseorang yang sudah membuat janji untuk bertemu di tempat itu. Nisa, dia adalah wanita yang selama ini kusukai, dan menunggu saat yang tepat untuk menyampaikannya, dia cantik dan anggun, murah senyum, dan jika dia senyum aku bisa langsung melupakan segala sesuatu yang memberatkan pikiranku.
Hampir tiba aku di ujung pantai itu, kulihat seorang wanita cantik duduk sendiri di sebuah batu besar di pesisir pantai, sinar senja menambah anggun gaun serba pink yang dia pakai. Dialah wanita yang kucari dari tadi, dia lupa memberitahukan lokasi yang tepat untuk pertemuan yang dia janjikan. Kusapa dia dari samping dan duduk di sampingnya
“Ada apa?” tanyaku membuka percakapan
“Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu..” katanya sambil menatap jauh pada matahari senja
“Tunggu dulu..! ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu”
“Apa itu?” tanyanya penasaran
“Nanti dulu! Kamu jangan lihat kesini dulu”
“Baiklah”
Dia berbalik badan, dan kusiapkan sesuatu yang ingin kuberikan padanya. Kubuka sebuah kotak kecil berwarna merah pekat
“Sekarang berbaliklah...” pintaku
Dia berbalik dan terkejut melihat sebuah kotak berisi dua cincin di tanganku. Seakan tidak percaya, dia meneteskan air mata, aku tidak tahu apakah dia senang atau sedih
“Kenapa? Apakah kamu menolak?” tanyaku setelah melihat air mata jatuh dari pelupuk matanya
“Tidak, aku tidak menolak... aku hanya gembira dengan apa yang kamu berikan...” katanya sambil menunduk mengusap air matanya
“Dan... apa yang ingin kamu sampaikan tadi?”
“Tapi janji... kamu jangan nangis”
“Okelah...”
“Sebenarnya aku sudah lama menderita ini, tapi aku tidak sanggup mengatakannya padamu, karena aku takut kamu akan sedih..”
Dia terus menatap jauh pada matahari yang semakin tenggelam
“Maksudnya apa ini...” tanyaku heran
“Aku menderita kanker otak, dan dokter memvonis hidupku tinggal seminggu lagi, jadi aku ingin segera mengatakan bahwa dari awal kita kenal, aku sudah menyukaimu...”
Air matanya semakin deras mengalir, sampai aku tidak kuasa memikirkan apa yang ada di dalam hatinya. Hingga ingin kuusap air matanya di pipinya, saat tanganku hampir sampai di pipinya
“Maaf... kita masih belum halal...” katanya sambil mencegah tanganku hinggap di pipinya
“Maaf... aku lupa... tapi bagaimana dengan lamaranku? Apakah kamu akan menerimanya?” kutanya lagi tentang tujuan awalku
“Jika kamu ingin hidup denganku... aku tidak bisa... aku takut kamu akan menderita karena sebentar lagi aku pergi...”
“Aku ingin membuatmu bahagia di saat-saat terakhirmu”
“Apakah itu tidak akan membuatmu menderita?”
“Aku tidak akan menderita jika melihatmu bahagia...” jawabku
“Jika itu yang kamu inginkan...”
****
Besoknya, akad nikah diadakan di rumah Nisa. Ayahnya sebagai wali,  dua pamannya sebagai saksi, dan seorang kiyai pemimpin pondok pesantren besar sebagai penghulu. Semuanya berjalan lancar sesuai rencana, hingga aku dipertemukan dengan Nisa di kamar pengantin.
Nisa terlihat sangat cantik dengan sedikit polesan kosmetik dan gaun yang dipakainya.
“Bagaimana perasaanmu?” kutanya Nisa yang tengah duduk di ranjang
“Aku sangat senang dengan semua ini... bagaimana denganmu?” katanya sambil menunduk
“Aku juga sangat senang, karena semua ini adalah impianku dari dulu”
Hari-hari kujalani dengan penuh kegembiraan bersama Nisa, setiap sore kuajak Nisa ke pantai Karang Taruna tempat kenangan terindah antara aku dan Nisa. Setiap hari aku ingin membahagiakan Nisa sebelum saat terakhirnya tiba.
****
Hari ini adalah seminggu dari vonis dokter tentang Nisa. Aku duduk di ruang tunggu sambil menunggu keputusan dokter tentang Nisa. Aku membawa Nisa ke rumah sakit setelah dia pingsan di dapur saat hendak masak. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya dokter keluar dan mengatakan bahwa Nisa sudah meninggalkanku untuk selamanya. Seakan tidak percaya, aku langsung lari menuju ruangan tempat Nisa dirawat. Kulihat wajah Nisa pucat dan matanya menutup, kudekati dia, wajahnya masih memancarkan senyum yang telah membuatku menjadi begini. Aku berlutut di dekatnya sambil memegang tangannya yang dingin, aku tidak bisa menahan air mata setelah orang yang selama ini kucinta, kini harus meninggalkanku untuk selamanya.
SEKIAN..