Cerita ini dimulai saat aku pertama kali
menginjakkan kaki di bandara. Bukan untuk bepergian jauh, tapi untuk menjemput
saudara yang baru pulang dari tempat jauh. Sebut saja luar pulau. Tapi ini
bukan cerita tentang saudaraku, tapi ceritaku saat bertemu seorang gadis pendek
tapi imut yang sedang duduk manis menunggu seseorang di dekat pintu keluar
penumpang. Kulihat dia sibuk dengan ponselnya sendiri.
“Mau jemput siapa?” kucoba menyapa.
“Teman.” Jawabnya acuh.
“Teman spesial?” tanyaku penasaran.
“Teman biasa.” masih acuh.
“Boleh ikut duduk?”
“Terserah.”
Aku duduk sedangkan dia masih sibuk dengan
ponselnya sendiri. Penampilannya tampak seperti seseorang yang pergi dengan
buru-buru. Dengan hanya mengenakan sandal jepit, celana seadanya, dan yang paling
menggangguku adalah dia memakai baju safari tapi juga memakai jaket yang
membuatnya terlihat tidak sesuai. Sepertinya dia juga tidak membawa apa-apa
selain ponselnya. Sudah kuduga temannya ini bukan hanya teman biasa hingga
membuat dia terburu-buru kesini tanpa menghiraukan apapun.
Tak mau kalah kukeluarkan juga ponselku
sendiri, meski entah apa yang akan kulakukan. Sesekali kuperhatikan tingkahnya
yang beberapa kali memutar ponselnya dengan gelisah.
“Landingnya jam berapa?” kucoba membuka
percakapan.
“Jadwalnya sih jam enam, tapi ini udah
lewat dua jam tapi masih belum ada kabar. Harusnya kan kalo udah keluar pesawat
hp bisa diaktifin, tapi dari tadi nomernya gak aktif.” Jawabnya semakin
gelisah. Kini aku tahu apa yang membuatnya gelisah sedari tadi.
“Udah janjian kan yang mau jemput?”
“Ya iyalah, kita itu lebih dari sekedar
teman. Ada apa-apa itu pasti saling menghubungi.” Jawabnya dengan nada tinggi.
“Biasa aja kali. Aku kan cuma memastikan.”
Ucapku. “kupikir cuma teman biasa.” sambungku lirih.
“Kamu ngapain disini?”
“Mau jemput saudara.”
“Ngapain duduk disini? Disana kan masih
ada. Tuh sebelah sana juga masih banyak yang kosong.” Nadanya terdengar sedikit
kesal sambil menunjuk beberapa kursi kosong dengan dagunya.
“Harusnya kamu berterimakasih udah
ditemenin. Dari tadi kulihat kamu gelisah sendirian kayak anak ayam cari
induknya.” Sergahku santai.
Terdiam beberapa saat.
“Kamu duduk disini karena mau kenalan kan?
Aku Monika.” Ucapnya lirih sambil sedikit menunduk.
“Ehh? Mau nikah? Sama teman spesialmu
itu?” aku salah dengar.
“Monika bego! Itu namaku. Niat kenalan gak
sih?” bentaknya dengan nada serius.
“Maaf-maaf aku salah dengar. Ehm.. namaku
Eko.” Ucapku sambil mencoba tersenyum sambil menjulurkan tanganku. Dia
mengacuhkannya.
“Kenapa gak coba hubungi saudaranya atau
keluarganya? siapa tahu dia udah pulang atau pesawatnya delay?” kucoba
menenangkan sambil menarik tanganku yang diacuhkannya.
“Itulah masalahnya, aku gak punya nomor
keluarganya.”
“Waduh, susah juga.”
Beberapa kali kucoba menenangkan, karena
dalam pandanganku pesawat yang ditumpangi temannya mengalami kehilangan kontak
2 jam yang lalu. Akhirnya mulai dicari oleh tim SAR dan ditemukan hancur
berkeping-keping dengan korban berserakan. Dan beritanya harusnya sudah
menyebar di televisi sekarang ini. Tapi itu hanya dugaan tak berdasar dari
seseorang tanpa pengalaman naik pesawat sepertiku.
Kriiiinngggg....... ponselku berbunyi. Ada panggilan
dari kakakku.
“Ada disini ternyata. Dicari dari tadi.”
Kakakku muncul dengan ponsel di tangan dan tas ransel di punggungnya.
“Eh kak sudah turun? Mana
barang-barangnya?” tanyaku sambil bersalaman.
“Tuh di troli. Kamu angkat dua ya.”
Ucapnya sambil menunjuk troli di belakangnya.
“Oke” jawabku langsung mengambil 2 koper
lumayan besar.
Aku dan kakakku langsung mengambil langkah
menuju jalan keluar sambil sedikit berbincang.
“Yang tadi duduk denganmu itu siapa?
Kenal?” tanya kakakku sedikit penasaran.
“Namanya Monika. Katanya dia mau jemput
temannya tapi belum ada kabar padahal katanya pesawatnya harusnya landing dua
jam yang lalu.” Jawabku santai.
“Terus kamu bantu?”
“Enggaklah kak. Dia cuek gitu orangnya.”
“Balik lagi ayuk. Bantu dia.” Ucap kakakku
berbalik tanpa menghiraukanku.
Entah apa yang dipikirkan kakakku. Tapi
dari sikapnya sepertinya dia tahu permasalahannya dan mungkin tahu bagaimana
menyelesaikan masalah Monika. Umur kakakku beda 5 tahun dariku, tapi
kedewasaannya jauh sekali di atasku. Dari berbagai pengalaman yang didapatnya
dari pergaulannya juga dari tempatnya merantau, mungkin itu yang sedikit demi
sedikit menumbuhkan sikap dewasanya. Dan aku yang layaknya anak kecil yang
masih ingusan dan dipenuhi rasa penasaran seringkali menimbulkan masalah tanpa
tahu bagaimana menyelesaikannya. Sedikit menyesal kugunakan masa remajaku hanya
untuk bermain-main dan mencari kesenangan.
Monika menatapku dari kejauhan dengan
sedikit penasaran. Tanda tanya muncul di ekspresinya. Dia masih terus mencoba
menghubungi temannya melalui ponselnya, tapi malang dia masih gagal.
“Ikut aku.” Ajak kakakku begitu ingin
kujelaskan maksud kakakku pada Monika.
Aku meyakinkan Monika untuk menurut saja
ucapan kakakku. Dengan sedikit berat dia akhirnya ikut juga. Entah apa yang
akan dilakukan kakakku tapi dia mulai mencari-cari petugas bandara untuk
ditanyai sesuatu. Terlihat dia sedikit berbicara dengan 2 petugas yang berjaga
di pintu masuk keberangkatan, kemudian dipanggilnya Monika dan mulai
menanyainya. Ternyata Monika benar-benar tidak tahu detail kedatangan temannya
itu hingga membuat salah seorang petugas itu garuk-garuk kepala.
“Tapi kalau sriwijaya air yang dari Ambon
itu tidak ada yang jadwalnya jam enam. Ada yang jam lima dan ada jam delapan
yang baru saja landing.” Yang seorang lagi mencoba menjelaskan.
Kami bertiga tersentak kaget. Tampaknya
Monika lebih kaget lagi, terlihat dia menunduk lesu tampak kecewa.
Kamipun undur diri setelah mengucapkan
terima kasih pada kedua petugas yang masih geleng-geleng kepala setelah
mengetahui permasalahan Monika.
“Dasar penipu!” bentak Monika geram.
“Kalau udah begini mending kamu pulang
dulu, nanti temui temanmu itu dan minta penjelasan darinya. Siapa tahu hanya
salah paham.” Ucap kakakku mencoba menenangkan.
Monika hanya tertunduk diam. Kubisikkan sesuatu
pada kakakku setelah teringat mungkin Monika tidak membawa uang karena kulihat
dia tidak terlihat membawa dompet ataupun tas. Kakakku mengangguk.
“Gak bawa uang kan?” tanya kakakku
memastikan.
“Eh? Iya kak. Kok tahu?” jawab Monika
sambil cengengesan.
“Menurut Eko penampilan kamu terlihat
seperti seseorang yang terburu-buru datang kesini tanpa memikirkan apapun.
Tanpa mikir pakaiannya cocok, tanpa mikir harus bawa uang berapa, tanpa
pertimbangan ini-itu. Yang penting bisa sampai kesini.” Kakakku memperjelas
spekulasiku.
“Ya gitu deh. Kok bisa tahu kamu?” Monika
menatapku sedikit heran.
“Aku kan punya indra ketujuh.” Jawabku
dengan nada bercanda.
“Punya indra ketujuh tapi mau kenalan
susah, ya percuma.” Ledeknya padaku.
“Sudah-sudah. Itu sopir kita sudah
menunggu.” Ucap kakakku sambil menunjuk sopir taksi yang tengah mencari-cari
penumpang.
Kami bertiga naik taksi, si sopir
menyimpan barang-barang kami di bagasi dan duduk di kursi kemudi bersama
kakakku. Sedang aku dan Monika di kursi penumpang agar lebih leluasa untuk
berbincang. Pertama menuju rumah Monika sesuai arahannya pada si sopir.
Rumahnya berjarak 5 kilometer dari bandara.
Taksi pun melaju meninggalkan bandara,
menyisakan kenangan manis untukku dan mungkin kenangan pahit untuk Monika. Aku
tidak ingin berprasangka apapun pada teman spesialnya itu, spekulasiku mengenai
hal ini adalah si temannya itu tidak menganggap Monika begitu spesial, mungkin
hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Sedangkan Monika mungkin telah
menerima berbagai hal dari teman spesialnya itu dan menanggapinya terlalu
berlebihan. Akhirnya perasaannya-pun mencuat ke permukaan dan mungkin berlebih
hingga tak sanggup lagi ia bendung, membuatnya tak lagi berpikir logis dan
menerima semuanya tanpa perlu lagi ingin menimbang ini-itu. Aku tidak ingin
menyalahkannya, kebanyakan wanita memang seperti itu. Mungkin yang membedakan
hanya bagaimana mereka menyikapinya.
Aku dan Monika sesekali mengobrol
membicarakan hal yang tidak begitu penting, aku hanya tidak ingin menyinggung
tentang teman spesialnya itu yang hanya akan memperburuk suasana hatinya. Tak
lupa saling bertukar nomor ponsel dengan alasan ingin agar lebih akrab, atau
bila suatu saat dia ingin membalas budi pada kakakku.
Sopir taksi memutar setirnya di tikungan
setelah lampu lintas menyala hijau sesuai arahan Monika. Beberapa puluh meter
kemudian mobil pun berhenti di depan sebuah rumah cukup besar dengan pagar
coklat. Kakakku turun dan mengantar Monika ke rumahnya, disambut seorang wanita
paruh baya yang kemungkinan adalah ibunya Monika. Kakakku memberiku kode untuk
segera menyusul turun menemui ibu itu. Aku hanya manut.
“Ika Nurlaila, kemana aja kamu? Tadi jam
lima buru-buru pergi dari rumah, sekarang pulang bersama orang asing.” Sempat
kudengar ibu itu membentak Monika.
“Maaf bu, kita orang Indonesia kok bukan
orang asing.” Celetukku dengan sedikit menyunggingkan senyum.
Kita berempat diam beberapa saat mendengar
celetukku. Kakakku sedikit menyikut lenganku sambil berbisik untuk menjaga sikapku.
Aku meminta maaf kemudian kakakku menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada ibu
itu. Tak salah bila seorang ibu mengkhawatirkan anaknya dan mulai mencurigai
orang lain, apalagi orang yang tidak dikenal. Naluri seorang ibu memang selalu
begitu, dibalik ucapannya yang mungkin terdengar seakan sedang marah, terdapat
kasih sayang yang begitu besar. Akhirnya ibu itu meminta maaf sekaligus
berterima kasih pada kakakku begitu mendengar penjelasan yang sebenarnya. Tak
lupa ibu itu juga meminta Monika untuk berterima kasih juga padaku dan kakakku.
Kakakku kemudian berpamitan dan segera
bersiap menaiki taksi. Tak lupa juga aku dan Monika berpamitan dan beberapa
kata-kata indah kulontarkan untuk memberinya kesan yang baik. Sesekali
dia tersenyum tersipu.
Begitulah kehidupan, setiap pertemuan
selalu diakhiri perpisahan, tapi semoga saja ini bukan perpisahan selamanya.
Aku masuk taksi diantar Monika dan ibunya. Pintu tertutup membuatku melambai
dari baliknya.
“Ika Nurlaila! Itu namaku, jangan ragu
untuk menghubungiku ya! Hapus nama Monika dari kepalamu!” teriaknya begitu
sopir mulai menyalakan mobil. Senyumnya mengembang tanpa ragu, tangannya
melambai ke arahku.
Aku membalas lambaiannya sambil tersenyum,
dan mobil pun melaju menembus gelapnya malam yang diterangi lampu jalan yang
berjejer rapi menghiasi kota ini.
“Ika Nurlaila, nama yang indah. Kamu
bersinar malam ini.” Gumamku dalam hati sambil membetulkan posisi duduk.
“Sudah mulai ada peningkatan. Berkat
gurauan indra ketujuh kamu dapat teman baru, sepertinya ceritanya akan terus
berlanjut. Aku berani taruhan kamu setidaknya sudah mencoba kenalan dengan
beberapa cewek sebelum mendekati cewek yang tadi.” Ucap kakakku dari samping
kursi kemudi.
“Hahaha.. diam kamu!”
“Hahaha..”
Kakakku tertawa, aku tertawa, sopir pun
ikut tertawa. Suara gelak tawa meramaikan suasana, mengantarkan mobil taksi
yang kami tumpangi menuju arah tujuan..
No comments:
Post a Comment