Monday, August 28, 2017

Spekulasi dan Sangka



Cerita ini dimulai saat aku pertama kali menginjakkan kaki di bandara. Bukan untuk bepergian jauh, tapi untuk menjemput saudara yang baru pulang dari tempat jauh. Sebut saja luar pulau. Tapi ini bukan cerita tentang saudaraku, tapi ceritaku saat bertemu seorang gadis pendek tapi imut yang sedang duduk manis menunggu seseorang di dekat pintu keluar penumpang. Kulihat dia sibuk dengan ponselnya sendiri.

“Mau jemput siapa?” kucoba menyapa.

“Teman.” Jawabnya acuh.

“Teman spesial?” tanyaku penasaran.

“Teman biasa.” masih acuh.

“Boleh ikut duduk?”

“Terserah.” 

Aku duduk sedangkan dia masih sibuk dengan ponselnya sendiri. Penampilannya tampak seperti seseorang yang pergi dengan buru-buru. Dengan hanya mengenakan sandal jepit, celana seadanya, dan yang paling menggangguku adalah dia memakai baju safari tapi juga memakai jaket yang membuatnya terlihat tidak sesuai. Sepertinya dia juga tidak membawa apa-apa selain ponselnya. Sudah kuduga temannya ini bukan hanya teman biasa hingga membuat dia terburu-buru kesini tanpa menghiraukan apapun.

Tak mau kalah kukeluarkan juga ponselku sendiri, meski entah apa yang akan kulakukan. Sesekali kuperhatikan tingkahnya yang beberapa kali memutar ponselnya dengan gelisah.

“Landingnya jam berapa?” kucoba membuka percakapan.

“Jadwalnya sih jam enam, tapi ini udah lewat dua jam tapi masih belum ada kabar. Harusnya kan kalo udah keluar pesawat hp bisa diaktifin, tapi dari tadi nomernya gak aktif.” Jawabnya semakin gelisah. Kini aku tahu apa yang membuatnya gelisah sedari tadi.

“Udah janjian kan yang mau jemput?”

“Ya iyalah, kita itu lebih dari sekedar teman. Ada apa-apa itu pasti saling menghubungi.” Jawabnya dengan nada tinggi.

“Biasa aja kali. Aku kan cuma memastikan.” Ucapku. “kupikir cuma teman biasa.” sambungku lirih.

“Kamu ngapain disini?”

“Mau jemput saudara.”

“Ngapain duduk disini? Disana kan masih ada. Tuh sebelah sana juga masih banyak yang kosong.” Nadanya terdengar sedikit kesal sambil menunjuk beberapa kursi kosong dengan dagunya.

“Harusnya kamu berterimakasih udah ditemenin. Dari tadi kulihat kamu gelisah sendirian kayak anak ayam cari induknya.” Sergahku santai.

Terdiam beberapa saat.

“Kamu duduk disini karena mau kenalan kan? Aku Monika.” Ucapnya lirih sambil sedikit menunduk.

“Ehh? Mau nikah? Sama teman spesialmu itu?” aku salah dengar.

“Monika bego! Itu namaku. Niat kenalan gak sih?” bentaknya dengan nada serius.

“Maaf-maaf aku salah dengar. Ehm.. namaku Eko.” Ucapku sambil mencoba tersenyum sambil menjulurkan tanganku. Dia mengacuhkannya.

“Kenapa gak coba hubungi saudaranya atau keluarganya? siapa tahu dia udah pulang atau pesawatnya delay?” kucoba menenangkan sambil menarik tanganku yang diacuhkannya.

“Itulah masalahnya, aku gak punya nomor keluarganya.”

“Waduh, susah juga.”

Beberapa kali kucoba menenangkan, karena dalam pandanganku pesawat yang ditumpangi temannya mengalami kehilangan kontak 2 jam yang lalu. Akhirnya mulai dicari oleh tim SAR dan ditemukan hancur berkeping-keping dengan korban berserakan. Dan beritanya harusnya sudah menyebar di televisi sekarang ini. Tapi itu hanya dugaan tak berdasar dari seseorang tanpa pengalaman naik pesawat sepertiku.

Kriiiinngggg....... ponselku berbunyi. Ada panggilan dari kakakku.

“Ada disini ternyata. Dicari dari tadi.” Kakakku muncul dengan ponsel di tangan dan tas ransel di punggungnya.

“Eh kak sudah turun? Mana barang-barangnya?” tanyaku sambil bersalaman.

“Tuh di troli. Kamu angkat dua ya.” Ucapnya sambil menunjuk troli di belakangnya.

“Oke” jawabku langsung mengambil 2 koper lumayan besar.

Aku dan kakakku langsung mengambil langkah menuju jalan keluar sambil sedikit berbincang.

“Yang tadi duduk denganmu itu siapa? Kenal?” tanya kakakku sedikit penasaran.

“Namanya Monika. Katanya dia mau jemput temannya tapi belum ada kabar padahal katanya pesawatnya harusnya landing dua jam yang lalu.” Jawabku santai.

“Terus kamu bantu?”

“Enggaklah kak. Dia cuek gitu orangnya.”

“Balik lagi ayuk. Bantu dia.” Ucap kakakku berbalik tanpa menghiraukanku.

Entah apa yang dipikirkan kakakku. Tapi dari sikapnya sepertinya dia tahu permasalahannya dan mungkin tahu bagaimana menyelesaikan masalah Monika. Umur kakakku beda 5 tahun dariku, tapi kedewasaannya jauh sekali di atasku. Dari berbagai pengalaman yang didapatnya dari pergaulannya juga dari tempatnya merantau, mungkin itu yang sedikit demi sedikit menumbuhkan sikap dewasanya. Dan aku yang layaknya anak kecil yang masih ingusan dan dipenuhi rasa penasaran seringkali menimbulkan masalah tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya. Sedikit menyesal kugunakan masa remajaku hanya untuk bermain-main dan mencari kesenangan.

Monika menatapku dari kejauhan dengan sedikit penasaran. Tanda tanya muncul di ekspresinya. Dia masih terus mencoba menghubungi temannya melalui ponselnya, tapi malang dia masih gagal.
“Ikut aku.” Ajak kakakku begitu ingin kujelaskan maksud kakakku pada Monika.

Aku meyakinkan Monika untuk menurut saja ucapan kakakku. Dengan sedikit berat dia akhirnya ikut juga. Entah apa yang akan dilakukan kakakku tapi dia mulai mencari-cari petugas bandara untuk ditanyai sesuatu. Terlihat dia sedikit berbicara dengan 2 petugas yang berjaga di pintu masuk keberangkatan, kemudian dipanggilnya Monika dan mulai menanyainya. Ternyata Monika benar-benar tidak tahu detail kedatangan temannya itu hingga membuat salah seorang petugas itu garuk-garuk kepala.

“Tapi kalau sriwijaya air yang dari Ambon itu tidak ada yang jadwalnya jam enam. Ada yang jam lima dan ada jam delapan yang baru saja landing.” Yang seorang lagi mencoba menjelaskan.

Kami bertiga tersentak kaget. Tampaknya Monika lebih kaget lagi, terlihat dia menunduk lesu tampak kecewa.

Kamipun undur diri setelah mengucapkan terima kasih pada kedua petugas yang masih geleng-geleng kepala setelah mengetahui permasalahan Monika.

“Dasar penipu!” bentak Monika geram.

“Kalau udah begini mending kamu pulang dulu, nanti temui temanmu itu dan minta penjelasan darinya. Siapa tahu hanya salah paham.” Ucap kakakku mencoba menenangkan.

Monika hanya tertunduk diam. Kubisikkan sesuatu pada kakakku setelah teringat mungkin Monika tidak membawa uang karena kulihat dia tidak terlihat membawa dompet ataupun tas. Kakakku mengangguk.

“Gak bawa uang kan?” tanya kakakku memastikan.

“Eh? Iya kak. Kok tahu?” jawab Monika sambil cengengesan.

“Menurut Eko penampilan kamu terlihat seperti seseorang yang terburu-buru datang kesini tanpa memikirkan apapun. Tanpa mikir pakaiannya cocok, tanpa mikir harus bawa uang berapa, tanpa pertimbangan ini-itu. Yang penting bisa sampai kesini.” Kakakku memperjelas spekulasiku.

“Ya gitu deh. Kok bisa tahu kamu?” Monika menatapku sedikit heran.

“Aku kan punya indra ketujuh.” Jawabku dengan nada bercanda.

“Punya indra ketujuh tapi mau kenalan susah, ya percuma.” Ledeknya padaku.

“Sudah-sudah. Itu sopir kita sudah menunggu.” Ucap kakakku sambil menunjuk sopir taksi yang tengah mencari-cari penumpang.

Kami bertiga naik taksi, si sopir menyimpan barang-barang kami di bagasi dan duduk di kursi kemudi bersama kakakku. Sedang aku dan Monika di kursi penumpang agar lebih leluasa untuk berbincang. Pertama menuju rumah Monika sesuai arahannya pada si sopir. Rumahnya berjarak 5 kilometer dari bandara.

Taksi pun melaju meninggalkan bandara, menyisakan kenangan manis untukku dan mungkin kenangan pahit untuk Monika. Aku tidak ingin berprasangka apapun pada teman spesialnya itu, spekulasiku mengenai hal ini adalah si temannya itu tidak menganggap Monika begitu spesial, mungkin hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Sedangkan Monika mungkin telah menerima berbagai hal dari teman spesialnya itu dan menanggapinya terlalu berlebihan. Akhirnya perasaannya-pun mencuat ke permukaan dan mungkin berlebih hingga tak sanggup lagi ia bendung, membuatnya tak lagi berpikir logis dan menerima semuanya tanpa perlu lagi ingin menimbang ini-itu. Aku tidak ingin menyalahkannya, kebanyakan wanita memang seperti itu. Mungkin yang membedakan hanya bagaimana mereka menyikapinya.

Aku dan Monika sesekali mengobrol membicarakan hal yang tidak begitu penting, aku hanya tidak ingin menyinggung tentang teman spesialnya itu yang hanya akan memperburuk suasana hatinya. Tak lupa saling bertukar nomor ponsel dengan alasan ingin agar lebih akrab, atau bila suatu saat dia ingin membalas budi pada kakakku.

Sopir taksi memutar setirnya di tikungan setelah lampu lintas menyala hijau sesuai arahan Monika. Beberapa puluh meter kemudian mobil pun berhenti di depan sebuah rumah cukup besar dengan pagar coklat. Kakakku turun dan mengantar Monika ke rumahnya, disambut seorang wanita paruh baya yang kemungkinan adalah ibunya Monika. Kakakku memberiku kode untuk segera menyusul turun menemui ibu itu. Aku hanya manut.

“Ika Nurlaila, kemana aja kamu? Tadi jam lima buru-buru pergi dari rumah, sekarang pulang bersama orang asing.” Sempat kudengar ibu itu membentak Monika.

“Maaf bu, kita orang Indonesia kok bukan orang asing.” Celetukku dengan sedikit menyunggingkan senyum.
Kita berempat diam beberapa saat mendengar celetukku. Kakakku sedikit menyikut lenganku sambil berbisik untuk menjaga sikapku. Aku meminta maaf kemudian kakakku menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada ibu itu. Tak salah bila seorang ibu mengkhawatirkan anaknya dan mulai mencurigai orang lain, apalagi orang yang tidak dikenal. Naluri seorang ibu memang selalu begitu, dibalik ucapannya yang mungkin terdengar seakan sedang marah, terdapat kasih sayang yang begitu besar. Akhirnya ibu itu meminta maaf sekaligus berterima kasih pada kakakku begitu mendengar penjelasan yang sebenarnya. Tak lupa ibu itu juga meminta Monika untuk berterima kasih juga padaku dan kakakku.

Kakakku kemudian berpamitan dan segera bersiap menaiki taksi. Tak lupa juga aku dan Monika berpamitan dan beberapa kata-kata indah kulontarkan  untuk memberinya kesan yang baik. Sesekali dia tersenyum tersipu.

Begitulah kehidupan, setiap pertemuan selalu diakhiri perpisahan, tapi semoga saja ini bukan perpisahan selamanya. Aku masuk taksi diantar Monika dan ibunya. Pintu tertutup membuatku melambai dari baliknya.

“Ika Nurlaila! Itu namaku, jangan ragu untuk menghubungiku ya! Hapus nama Monika dari kepalamu!” teriaknya begitu sopir mulai menyalakan mobil. Senyumnya mengembang tanpa ragu, tangannya melambai ke arahku.

Aku membalas lambaiannya sambil tersenyum, dan mobil pun melaju menembus gelapnya malam yang diterangi lampu jalan yang berjejer rapi menghiasi kota ini.

“Ika Nurlaila, nama yang indah. Kamu bersinar malam ini.” Gumamku dalam hati sambil membetulkan posisi duduk.

“Sudah mulai ada peningkatan. Berkat gurauan indra ketujuh kamu dapat teman baru, sepertinya ceritanya akan terus berlanjut. Aku berani taruhan kamu setidaknya sudah mencoba kenalan dengan beberapa cewek sebelum mendekati cewek yang tadi.” Ucap kakakku dari samping kursi kemudi.

“Hahaha.. diam kamu!”

“Hahaha..”

Kakakku tertawa, aku tertawa, sopir pun ikut tertawa. Suara gelak tawa meramaikan suasana, mengantarkan mobil taksi yang kami tumpangi menuju arah tujuan..





No comments:

Post a Comment