Monday, August 21, 2017

Izul dan Impiannya

_Minggu pagi
Pagi hari di sawah. Semua petani menyibukkan diri sejak subuh tadi. Menggarap tiap meter tanah dengan sisa batang padi yang baru dipanen, agar siap menghadapi musim tanam selanjutnya. Dengan musim hujan yang tak menentu seperti sekarang, membuat para petani bisa langsung menanami sawahnya tak lama setelah panen. Peluh mulai bercucuran mengiringi hunjaman pacul ke tanah, yang tanpa ampun sebisa mungkin menggemburkannya. Sapi-sapi sesekali melenguh mendapati pecutan majikannya yang tidak sabar, demi segera lolos dari pekerjaan melelahkan ini.

Begitupun diriku, dengan kaos yang sedari tadi telah basah oleh keringatku sendiri, masih dengan setia membantu ayahku membajak sawahnya. Hanya aku yang membantunya. Tidak ada tenaga sapi yang mampu ayahku dapatkan untuk sekedar meringankan pekerjaan taninya. Tubuhnya memang jauh lebih tua dariku, tapi semangatnya semuda pejuang kemerdekaan terdahulu. Aku hanya sedikit mengeluh sambil sesekali menyeka keringat dengan kaosku, membuatnya semakin kumal.
"kak doni, ada yang perlu dibantu gak? Tapi kasih upah dua ribu ya?" Suara anak kecil terdengar melengking di belakangku.
Aku menoleh ke arah suara, sambil melambai. Membuatnya menunduk lesu.

Dialah Izul, anak tetanggaku yang baru berumur 6 tahun. Tapi semangatnya mondar-mandir dari satu petak sawah ke petak yang lain sangat jauh diatasku. Langkah kecilnya yang terkadang diiringi lompatan kecil seakan tengah bermain di lapangan permainan. Seringai khasnya dia sunggingkan tiap kali berpapasan dengan petani lain. Berharap tenaganya diperlukan demi mendapat upah 2 ribu perak. Dia memang belum mengerti soal uang, tapi mungkin itulah yang dia pelajari dari ayahnya yang kondisi keuangannya masih dibawah ayahku. Dia anak tunggal sepertiku. Tapi kedua orangtuanya sama sekali tidak punya sawah untuk dibajak sendiri. Jadi harus berkeliling dan menemui tiap tuan sawah dengan harapan tenaganya diperlukan meski hanya untuk mencabuti rumput liar.

Banyak hal kudengar tentang keluarga mereka, mereka makan seadanya. Dengan uang yang dikumpulkan sehari penuh dari membantu petani lain, hanya cukup untuk membeli beras. Membuat mereka seringkali harus mengkonsumsi nasi garam demi memenuhi kebutuhan pencernaan mereka.

Tidak pernah kudengar Izul mengeluhkan masalah nasi garam, dia malah bersyukur masih bisa makan. Ayahku yang merasa kasihan pada Izul terkadang memberinya singkong rebus saat dia tidak sengaja lewat ketika aku dan ayahku tengah beristirahat siang, membuatnya berlari sambil sesekali meloncat kegirangan. Ayahku hanya menanggapinya dengan senyum, sambil melahap sisa singkong rebus dari bekal kami.

Sore hari saat aku dan ayah mulai bersiap pulang setelah menyelesaikan pekerjaan melelahkan di sawah, Izul menghampiriku dengan wajah yang basah oleh keringat. Tubuhnya tampak begitu lelah. Seperti biasa dia selalu ingin pulang bersamaku.

"Bantu siapa aja tadi?" Tanyaku saat kami mulai mengambil langkah pulang.
"Pak Tono, pak Timin, sama pak Juki yang sawahnya disana tu." Jawabnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah sawah mereka masing-masing.
"Sawah pak Juki kan jauh? Diupah berapa?" Tanyaku begitu melihat dia merogoh kantongnya.
"Dua ribu juga, tapi warna lain." Katanya sambil menunjukkan uang lembar 5 ribu.
"Waahh banyak tuh. Ini sih lima ribu, upah pak Tono kalo ditambah sama upah pak Timin gak sampek segini."
"Beneran kak doni? Waah.. bisa beli anak ayam dong?" Wajah Izul berubah cerah mendengar jawabanku.
"Kamu suka anak ayam?"
"Iya dong.. aku mau pelihara dua. Biar nanti kalo udah besar dan bisa berkokok bisa bangunin aku waktu subuh. Biar gak telat terus bangunnya." Jawabnya penuh semangat.
"Tabungannya udah banyak belum?" Tanyaku begitu teringat bahwa dia suka menabung sebagian hasil pekerjaannya.
"Pernah waktu itu banyak banget. Tapi diminta ayahku buat beli pacul sama telur. Katanya bosen makan nasi garam." Jawabnya sedikit lesu.

Kami pun melanjutkan langkah agar sesegera mungkin dapat beristirahat dengan tenang, untuk bersiap menghadapi pekerjaan melelahkan lainnya di esok hari. Ayahku hanya membisu sepanjang perjalanan pulang, seperti biasanya. Tapi sekarang ayahku lebih sering senyum sejak kuberikan baju takwa yang dibelikan Rina. Beliau tidak pernah memakainya, mungkin baju baru mengingatkannya saat pertama kali dibelikan ibu. Aroma barunya, warnanya dan coraknya, kebahagiannya. Mungkin itu bisa membuat ayahku merasakan lagi saat-saat ibuku pertama kali memberikannya. Dan mungkin ayah tidak ingin merusak kenangan itu.

**
_senin sore
Sepulang dari sawah, aku hanya duduk-duduk santai di kursi panjang yang ada di bawah pohon mangga depan rumahku. Sambil sesekali mengeluarkan ponsel saat ada pemberitahuan pesan masuk. Hubunganku dengan Rina kini semakin dekat sejak seminggu yang lalu, dan dia semakin sering mengirimiku sms walau sekedar menanyakan aktifitasku. Tidak begitu penting memang, mengingat aktifitas keseharianku yang terbilang biasa saja. Tapi ada setitik perasaan senang setiap kali ponsel ini berdering, seakan Rina berada begitu dekat denganku setiap saat.
Kulayangkan pandangan pada sekitar, seorang anak kecil terlihat mondar-mandir di samping rumahnya, itulah Izul. Rumahnya cukup dekat dengan rumahku, hingga aku bisa melihat rumahnya dari halaman depan rumahku. Terlihat Izul keluar-masuk rumahnya beberapa kali, entah apa yang dikerjakannya. Aku penasaran, jadi aku segera menuju rumahnya khawatir terjadi sesuatu yang buruk.

“Ngapain kamu Zul? Dari tadi mondar-mandir keluar-masuk kayak induk ayam kehilangan anaknya." Tanyaku begitu sampai di rumahnya.
“Ehh kak ini lagi bikin kandang ayam. Aku baru beli dua anak ayam loh." Jawabnya kegirangan sambil menunjukkan kardus berisi dua anak ayam yang baru menetas.
“Waahh... lucu-lucu ya mereka. Ya udah tak bantuin juga ya."
Akhirnya aku membantu Izul membuat kandang ayam berukuran kecil. Aku membelah dan meraut bambu, sedangkan Izul kuminta untuk mengikat tiap bambu yang kususun. Dia melakukannya dengan semangat, meski keringatnya masih basah sisa dari sawah. Sesekali seringai khasnya dia sunggingkan mengiringi tiap candaan yang kulontarkan. Benar-benar anak ajaib, gumamku dalam hati.

Akhirnya susunan bambu telah tersusun rapi dan terikat dengan kuat. Kuminta Izul mengambil daun pisang sebanyak-banyaknya untuk dijadikan atap. Masih dengan penuh semangat dia langsung berlari menuju pepohonan pisang. Tak begitu lama Izul kembali dengan tergopoh-gopoh membawa banyak sekali daun pisang, masih dengan seringainya. Lalu kutata daun pisang yang telah kupotong dua pada bambu yang kusediakan diatas kandang yang telah jadi. Setelah beberapa tumpukan daun pisang tertata, kupasang lagi sebilah bambu di atasnya yang kemudian kuikat. Dan jadilah kandang ayam sederhana karyaku dan Izul. Tak lupa juga kuletakkan mangkuk plastik kecil untuk tempat air, dan piring kecil untuk tempat makannya.

Izul meloncat-loncat kegirangan begitu kedua anak ayamnya dimasukkan ke kandang buatannya sendiri. Tak henti-hentinya dia berteriak-teriak layaknya baru mendapat hadiah. Dalam pandanganku itu seperti mimpi yang baru saja terwujud. Kemudian dia segera masuk ke rumahnya dan kembali dengan piring berisi separuh nasi, dia bilang itu jatah makan siangnya yang sengaja dia sisakan separuh, demi ayamnya. 

Aku hanya tertegun melihat pemandangan di hadapanku. Seorang anak kecil yang rela mengurangi jatah makannya demi anak ayam peliharaannya, dan demi tercapainya mimpinya yang sederhana. Aku benar-benar merasa kalah jauh dari anak ini. Baik dalam segi ketekunan kerja, juga dalam semangat menggapai mimpi. Rasanya ada lecutan keras menghantam punggungku, itu menyadarkanku. Masa kalah sama anak kecil, gerutuku dalam hati berkali-kali.

SELESAI..

No comments:

Post a Comment