Monday, September 18, 2017

Cerita Ika

(seri kedua dari “Spekulasi dan Sangka”)


Asap mengepul di ujung tempat dapur berada, bartender berlalu lalang menyapa setiap pengunjung yang datang, aroma khas kopi tercium dari arah sekelilingku. Kafe, tempat termewah yang pernah kudatangi.

Setelah sering berkomunikasi dan bertukar cerita, malam ini aku dan Ika membuat janji untuk bertemu di sebuah kafe di Surabaya. Ika yang menentukan tempatnya, dan kini dia terlambat dari waktu pertemuan yang ditentukan. Aku telah lebih dahulu memilih meja untuk kita berdua dan mengiriminya pesan begitu meja kudapat. Sesekali kulihat arlojiku yang semakin menjauh dari waktu pertemuan, baru sepuluh menit tapi aku merasa gugup seakan telah menunggu berjam-jam.

Aku melambai pada seorang wanita dengan cardigan biru dan topi kupluk yang melangkah masuk dengan celingak-celinguk, itu dia akhirnya datang. Kini dia melangkah ke arahku sambil tersenyum simpul, lalu menyapa dan menyalamiku. Dia memakai pakaian kasual dan santai, tapi terlihat sempurna di tubuhnya. Kupersilahkan dia duduk di hadapanku dan membiarkan bartender mencatat pesanan kami.

“Kopi susu panas. ” Pesananku dicatat.

“Coffee ice with latte.” Pesanan Ika juga dicatat.

Dari pesanan kami terlihat jelas siapa yang sering nongkrong di tempat seperti ini. Kumulai dengan obrolan sederhana untuk mencairkan suasana, hal yang seharusnya dilakukan saat pertemuan pertama. Lalu dilanjutkan dengan menyinggung penampilan masing-masing.

“Kamu itu kelihatan banget cantiknya kalau pakai baju itu.” Kulontarkan pujianku.

“Kamu bisa aja. Aku cuman gak mau disebut ‘tanpa memikirkan apapun’ lagi oleh seseorang yang punya indra ketujuh.” Dia berusaha menghindar. Aku tertawa.

“Kan aku udah pernah bilang, aku gak punya indra ketujuh. Sebenarnya aku cuman tahu caranya mengkritik seseorang dari memperhatikan penampilannya.” Aku menjelaskan.

“Iya aku tahu kok.” Jawabnya santai.

Bartender dengan rambut cepak membawa nampan dan meletakkan pesanan kami di meja.

“Silakan pesanannya. Coffee latte with ice untuk mbaknya, dan kopi susu panas untuk masnya.”

“Terima kasih.” Ucapku dan Ika hampir bersamaan.

Lalu obrolan pun dilanjutkan sambil menikmati kopi masing-masing. Sesekali kuperhatikan Ika mengaduk kopinya dengan sedotan, lalu meminumnya perlahan.

“Eh, ngomong-ngomong katanya kamu mau ceritain sesuatu? Apa?” tanyaku penasaran mengingat dia pernah menyinggungnya sebelumnya.

“Kamu dengerin ya. Soalnya ceritanya panjang banget. Dimulai saat aku berkenalan dengan seorang cowok di facebook, namanya Rifki. Orangnya ganteng, ramah, dan baik hati pula. Awalnya dia menyapaku, lalu aku ladeni, akhirnya kita kenalan dan seterusnya. Setiap hari kita chattingan sampai curhat-curhatan, dia juga bilang suka padaku dan ingin bertemu denganku suatu saat. Dia merantau di Ambon udah lama banget, dan ada rencana mau mudik dalam waktu dekat. Itu udah terjadi sejak setahun lalu, ya gitu kita selalu chattingan. Saling komentar di postingan masing-masing, sampai saling tukar foto, saling tukar nomor handphone. Jadi hampir setiap malam dia meneleponku, dia bilang suaraku bagus. Jujur aku jadi suka padanya. Lalu akhirnya aku tahu dia akan mudik, jadi aku menagih janjinya dan ingin menjemputnya di bandara. Dia memberitahuku jadwal dia tiba hanya sejam sebelum jadwalnya. Dan seperti yang kamu tahu, aku langsung buru-buru pakai baju seadanya, bawa uang yang ada di kantong yang hanya cukup untuk ongkos naik taksi ke bandara tanpa memikirkan bagaimana pulangnya, yang penting aku ingin segera bertemu dengannya.

Di bandara aku menunggu sambil mencoba menghubunginya dan berpesan padanya bahwa aku menunggunya, tapi sejak kabar terakhir dia memberitahuku jadwal kedatangannya dia tidak lagi menghubungiku ataupun mengaktifkan ponselnya. Aku jadi gelisah. Lalu di tengah kegelisahanku, aku memperhatikan seorang cowok sedang mencoba merayu beberapa cewek. Dia benar-benar payah dalam hal itu, yang dia lontarkan hanya rayuan yang sama. Kurasa akhirnya dia menyerah dilihat dari wajahnya yang terlihat lesu. Lalu dia mulai memperhatikanku, kuduga dia akan segera menggodaku, dan benar saja dia mendatangiku dan mengajakku basa-basi. Awalnya aku cuek padanya, tapi kucoba membuka hati siapa tahu dia bisa menghiburku selagi aku menunggu Rifki. Dia lumayan asyik, dan sedikit cerewet sih. Namanya Eko.” Ika melirikku sambil menahan senyum. Aku hanya tersenyum sambil menunggu kelanjutan ceritanya.

“Lalu kuceritakan bahwa aku punya masalah, sepertinya dia tidak terlalu ingin membantu. Gak lama setelah itu kakaknya datang, dia malah langsung pergi. Jadi kupikir dia memang tidak punya niat baik. Setelah beberapa kali mencoba menelepon Rifki lagi, dia kembali bersama kakaknya dan menawarkan bantuan, aku senang banget waktu itu. Dalam pandanganku, dia berbeda sekali saat bersama kakaknya. Dia seperti seorang adik yang beranjak dewasa daripada perayu cewek. Jadi kuputuskan untuk mencoba mengenalnya lebih jauh. Dan begitulah, kini dia berada di hadapanku dengan senyumnya.” Ika menutup cerita.

“Lalu, bagaimana perasaanmu setelah tahu Rifki yang sebenarnya?” tanyaku.

“Kecewa lah. Di fotonya kelihatan ganteng, aslinya malah gak ganteng-ganteng amat. Apalagi setelah tahu dia udah punya anak-istri, aku kecewa pake banget. Pokoknya gak mau lagi kenal-kenalan di dunia maya, mending cari yang nyata aja.” Jawabnya dengan nada kesal.

Waktu kita lewatkan dengan saling bertukar cerita dan pengalaman. Ternyata dia telah mengalami beberapa hubungan melalui dunia maya, bahkan sempat pacaran yang berawal dari kenalan di facebook. Aku hanya membayangkan, bagaimana caranya dia menumbuhkan perasaan pada seseorang yang tidak pernah dilihatnya secara langsung.

Tanpa terasa, malam kian larut. Ika terlihat lesu dengan mata yang sayu. Aku menawarkan untuk mengantarnya pulang, dia tidak menolak. Lalu dengan senang hati aku mengantarnya pulang setelah membayar di kasir.

Angin malam yang menerpa membuat Ika harus memegangi topi kupluknya saat motorku melaju agar tidak terlepas. Kuhentikan motorku untuk menawarkan helmku agar dipakainya, dia memakainya tanpa ekspresi mungkin karena kantuknya. Lalu kulanjutkan perjalanan.

“Aku meluk ya, soalnya ngantuk banget.” Ucap Ika lirih sambil tangannya melingkari pinggangku.

Aku hanya membiarkannya, membiarkan tubuhnya menghangatkanku untuk mengusir dinginnya terpaan angin. Kepalanya telah bersandar ke punggungku. Masih beberapa kilometer lagi untuk sampai di rumah Ika dan malam sudah selarut ini, bagaimana aku pulang? Itulah yang terbayang dalam benakku.

Diterpa angin malam tanpa helm membuat mataku berair, sesekali kupicingkan mata untuk menghindarinya. Kuusap mataku saat air mata mulai menggenang, beberapa kali kukedip-kedipkan membuatku sesaat kehilangan fokus ke jalan. Hingga terlambat kusadari sebuah mobil yang baru keluar dari gang dengan terburu-buru, membuatku tidak sempat menghindar dan motorku menabrak bagian sampingnya. Tubuhku menghantam pintu mobil dengan keras akibat kencangnya laju motorku juga tubuh Ika yang masih memelukku dengan erat. Aku tersungkur, telingaku berdenging, darah mengucur menutupi pandanganku. Terakhir kulihat sopir mobil yang kutabrak berteriak kalut sambil meminta bantuan orang-orang sekitar, dan orang-orang mulai berkerumun.

***
_dua minggu kemudian

Aku terbangun dari tidur, akibat suara berisik di luar. Samar-samar aku mengenali suara itu, Ika. Terakhir kudengar dia hanya mengalami patah tangan saat aku baru tersadar seminggu lalu. Aku sedikit lega dia tidak terluka serius gara-gara aku.

Pintu kamarku terbuka, ibuku yang pertama kali masuk. Lalu disusul Ika dan orang tuanya. Ika langsung menghampiriku.

“Hai.. apa kabar?” ucapku sambil tersenyum saat melihatnya terdiam beberapa saat.

“Kamu itu ya, udah kepala diperban, tiduran di kasur, kaki masih pakai gips. Kamu gak berhak tanya begitu tahu?” bentaknya dengan mata berair. 

“Aku kan nanya. Tanganmu kan juga di gips, digantung pula.”

“Mending tanganku yang digantung, daripada perasaanku yang digantung.” Ucapnya sambil menahan senyum.

“Jiaahh.. malah curhat.” 

Aku dan Ika tertawa, orang tua Ika hanya tersenyum menanggapinya, mereka masih mengobrol dengan ibuku sambil sesekali memperhatikanku. Aku tidak begitu mengenal mereka, tapi mungkin Ika telah bercerita tentangku pada mereka.

“Waktu itu, kamu kok kasih helmmu padaku sih? Coba kamu tetap pakai helm, kepalamu gak mungkin diperban kayak gini.” tanya Ika sedikit lirih.

“Kasihan aja kamu sampai harus pegangin kuplukmu, kulihat juga kamu ngantuk banget. Lagian itu udah kehendak takdir.” Jawabku masih menatapnya.

Orang tua Ika meninggalkan kamarku bersama ibuku setelah mengucapkan beberapa kata, Ika belum melepas tatapannya dariku. Kini hanya kami berdua, di dalam kamarku yang dipenuhi aroma obat-obatan dan perban.

“Melihatmu begini gara-gara aku, aku jadi sayang sama kamu.” Ucapnya lirih dengan nada menurun, lalu menyandarkan kepalanya ke perutku. Terasa sesak sih, tapi kubiarkan saja.

Aku jadi berpikir, apakah kata-katanya serius? Atau sesingkat itukah dia menumbuhkan perasaannya padaku? Begitu mudahnya dia jatuh hati, seakan sebuah perasaan baginya seperti kecambah yang mudah tumbuh lalu menghilang begitu saja. Itu membuatku sedikit bingung bagaimana menanggapinya, tapi dia imut sih.

“Masa’ cewek yang nyatain perasaan? Gak seru lah.” Protesku.

“Biarin, daripada keduluan.”

“Keduluan? Sama siapa?” tanyaku penasaran.

“Tuh di depan, yang matanya bengkak kayak abis nangis lama. Nangisin kamu kan!” Jawabnya cemberut.

“Haha.. itu sepupuku. Kucingnya mati ditabrak motor kemarin. Nangisnya semalaman. Kamu itu aneh, masa’ iri sama sesuatu yang belum jelas.” Aku memegang kepalanya, kini kita bertatapan. “yakin kamu serius?” sambungku memastikan.

Dia hanya mengangguk pelan.

“Yakin kamu mau sama aku yang dipenuhi perban gini?” tanyaku lagi.

“Enggaklah, aku lebih suka kamu yang sehat. Makanya cepat sembuh ya.” Jawabnya.

Lalu cupp.. Ika mencium keningku, membuatku beku beberapa saat.

“Aku akan menunggu sampai kamu sembuh.” Ucapnya sambil memegang tanganku.

Aku menatapnya lama, masih tidak percaya yang baru saja terjadi. Aku harus cepat sembuh.



Tuesday, September 12, 2017

Janji


(Seri terakhir dari 'Spekulasi dan Sangka' dan 'Cerita Ika')


Dua bulan berlalu sejak kecelakaan menimpaku, kini aku telah pulih sepenuhnya, meski masih dibantu tongkat untuk berjalan karena tulang pahaku yang belum tersambung sempurna. Walaupun begitu aku sangat bahagia, bahagia karena selalu ada tongkat hidup yang bersedia menopangku kemana saja. Seseorang yang sangat spesial bagiku, dan aku pun spesial baginya. Ika Nurlaila, yang kini menjadi kekasihku sejak dia dengan berani mengungkapkan perasaan sayangnya padaku kepada orang tuaku. Dan bersedia menemani dan merawatku sampai sembuh total.

“Jalannya pelan-pelan dong sayang, biar cepat sembuh.” Ucapnya lembut penuh perhatian, dengan tangannya melingkari lenganku.

“Gak apa-apa biar kakiku terlatih dan terbiasa.” Ucapku sambil mempercepat langkahku.

“Tapi kan pelan-pelan juga bisa.” Protesnya.

“Iya-iya. Gak usah manyun gitu dong, nanti manisnya hilang.” Sambil kubelai lembut pipinya, membuat senyumnya kembali merekah.

“Iiihh.. kamu gombal terus. Jalan sendiri aja.” Ucapnya lalu melepas rangkulannya dari lenganku.

“Ngambek terus.”

Langkah kaki ini semakin ringan seiring bergantinya hari. Semangatku untuk sembuh selalu terpompa berkat dukungan tanpa henti yang Ika berikan. Memang dia sesekali bosan denganku karena aku yang selalu merayunya, tapi itu tidak pernah bertahan lama. Begitulah hubungan, sama halnya dengan roda kehidupan yang kadang di atas dan kadang d bawah, juga pasti akan kembali lagi seperti semula.

Ika selalu siap kapanpun aku ingin jalan-jalan keluar, karena aku telah hafal jadwalnya sibuk dengan kuliahnya. Dia sempat cuti kuliah selama 3 minggu akibat kecelakaan waktu itu, jadi dia harus ngebut mengejar ketertinggalannya. Sedangkan aku harus cuti kerja sampai benar-benar sembuh, karena bosku yang baik hati tidak tega untuk melihat karyawannya yang bekerja mengandalkan kakinya harus bekerja dengan kondisi pincang. Aku bekerja di pabrik sepatu milik pamanku, dan tugasku adalah mondar-mandir mencatat setiap detail hasil produk yang dikerjakan karyawan lain, lalu mendistribusikannya ke berbagai tempat sesuai pesanan.

“Duduk dulu ya. Capek aku.” Aku duduk di depan sebuah toko saat kakiku mulai terasa letih. Ika masih bersamaku dengan tatapannya yang penuh perhatian.

“Sayang.. terimakasih karena kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku.” Ucapku sambil menggenggam tangannya.

“Seharusnya aku yang berterimakasih. Berkat kamu aku jadi tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dengan begitu dalam, bahkan aku masih ingin untuk masuk lebih dalam lagi. Berbeda sekali dengan perasaanku sebelumnya yang kusebut cinta, karena kali ini aku benar-benar jatuh cinta.” Nadanya sungguh-sungguh dengan senyum manisnya kembali merekah.

Aku tidak bisa berkata apa-apa, perasaanku bergejolak tak bisa kutahan, sampai ingin sekali aku menciumnya. Kudekati wajahnya, dia mulai menutup mata.

“Woy! Pacaran jangan di depan toko gue!” Bentak pemilik toko yang tiba-tiba keluar untuk protes dengan nada tinggi, urat lehernya menyembul keluar.

“Maaf Om kami gak bermaksud. Cuma gak kuat tadi.” Aku salah tingkah dan beringsut meninggalkan tempat itu.

“Dasar anak muda jaman sekarang!” Sambung pemilik toko, membuat sedikit keributan diantara para pengunjung tokonya.

Salah tingkah dan malu kurasakan, bisa-bisanya aku lupa daratan. Kulihat Ika hanya tertunduk dalam, wajahnya merah padam menahan malu.

“Maaf ya barusan aku gak sadar tempat. Malu banget aku.” Tak sanggup aku menghadapi Ika jika kejadian barusan membuatnya marah.

“Gak apa-apa kok. Yang penting gak ada yang marahin lagi.” Ucapnya pelan, masih menunduk.

“Eeehhh??”


***

_seminggu kemudian
Suara berisik mesin pemotong, suara mesin jahit, aroma sol karet, dan suara para pekerja yang bercengkerama memenuhi ruangan. Aku yang masih mondar-mandir mengecek kesiapan produk yang akan segera dikirim. Yup, aku telah kembali bekerja dan aku telah sembuh sepenuhnya, jadi aku harus bekerja lebih giat lagi agar mendapat gaji lebih setelah 2 bulan cuti. Mulai sekarang aku harus lebih rajin menabung, agar suatu saat nanti aku telah siap untuk menikahi Ika. Telah kubulatkan tekad bahwa aku akan menikahinya. Perasaanku yang kian hari kian besar padanya, membuatku memantapkan keputusanku.

“Kak Eko, sudah siap belum?” Suara lembut yang berasal dari Yuni, anak pamanku atau lebih tepatnya sepupuku, membuyarkan lamunanku.

“Eh iya dek, sedikit lagi.” Jawabku bergegas menyortir sepatu yang telah terbungkus rapi.

“Papa bilang cepetan, biar gak keburu siang.” Pesan Yuni  lalu bergegas keluar.

Mobil boks pengantar sepatu yang dikemudikan sendiri oleh pamanku melaju kencang membelah kota, mengantar setiap pesanan menuju tuannya masing-masing.

“Kakimu gak kumat lagi kan Ko?” Tanya pamanku tiba-tiba dengan masih fokus ke jalanan.

“Sudah sembuh kok, man. Cuma masih belum bisa dibawa lari.” Jawabku.

“Ya jangan lari , nanti patah lagi terus cuti lagi, jadi aku yang harus gantiin, nambah kerjaanku.” Ucap Yuni menatapku. Dia berada di tengah antara aku dan paman, karena tubuhnya yang mungil jadi terasa lebih leluasa meskipun harus berisi 3 orang.

Sepanjang perjalanan diisi obrolan santai ala keluarga, bukan antara bos dan karyawan. Sesekali gelak tawa pamanku yang khas terdengar membahana setiap menceritakan hal-hal yang menurutnya lucu, aku hanya mengikuti saja bagaimana ceritanya. Beberapa kali aku harus pura-pura ingin tahu saat paman mencoba membuatku penasaran, agar gurauannya jadi terdengar sempurna, dan agar dia bisa mengeluarkan kembali tawanya yang khas itu. Dan Yuni yang mungkin telah bosan dengan cara pikir ayahnya, memilih untuk membisu sepanjang perjalanan. Hanya saat aku menceritakan awal mula pertemuanku dengan Ika, dia begitu antusias ingin mendengarnya dari awal sampai akhir. Dia merasa kagum pada Ika begitu kuceritakan tentangnya. Kini ekspresinya lebih seperti anak kecil yang selalu penasaran dan penuh tanya. Jadi harus kuceritakan sedikit demi sedikit, hingga sampai pada saat Ika menyatakan perasaannya. Tidak bisa kuceritakan kejadian memalukan di depan toko waktu itu, bisa-bisa itu membuatnya menertawaiku membuatku semakin malu.

Akhirnya mobil boks telah sampai di depan pabrik dengan muatan yang telah kosong, pamanku menghentikan lajunya dan bergegas turun. Aku turun duluan lalu disusul Yuni.

“Eh kak. Kalian pernah ciuman gak?” Tanya Yuni tiba-tiba dengan wajah lebih penasaran. Dia terus membuntutiku.

“Kasih tau gak ya?” Jawabku mengacuhkannya.

“Ayo dong kak, kasih tau.” Dia semakin penasaran.

“Kamu itu masih kecil, gak perlu tau.”

“Siapa yang masih kecil? Aku udah SMA tau? Lagian kan tinggal jawab pernah atau belum, lalu selesai.” Protesnya dengan nada kesal.

“Privasi.” Jawabku santai lalu berpaling darinya.

“Gubrakk!” Aku jatuh terjungkal ke belakang setelah Yuni menarik lengan bajuku, aku kehilangan keseimbangan. Tidak begitu sakit, mungkin hanya lenganku lecet akibat menopang jatuhku.

“Eh aduh maaf kak aku gak bermaksud.” Yuni panik sambil membantuku berdiri.

“Eko sayang.. Kamu kenapa? Kok bisa jatuh?” Tiba-tiba Ika berlari menghampiriku entah dari mana.

Dia mendorong Yuni agar menjauh, mungkin pikirnya Yuni hendak mencelakaiku.

“Gak apa-apa. Aku cuma  kehilangan keseimbangan. Kamu kok tiba-tiba ada disini?” Aku berusaha bangkit perlahan dibantu Ika.

“Aku nungguin kamu disini dari tadi. Aku bawain kamu makanan buat makan siang, tapi kamu malah bercanda sama cewek ini.” Ika menunjuk Yuni dan membuatnya sedikit kaget.

“Gak usah cemburu gitu lah, dia ini sepupuku. Anak dari pamanku yang punya pabrik sepatu ini.” Kucoba menjelaskan.

Kupinta Yuni agar memperkenalkan dirinya dan menjelaskan situasinya. Sejenak wajah Ika sedikit memerah saat Yuni menyinggung tentang ciuman.

“Sudah jelas kan?” Tanyaku memastikan, dan dijawab dengan anggukan Ika. “Kamu bawa nasi goreng kan?” Lanjutku.

“Kok tau?” 

“Dari aromanya tercium kesungguhan seorang wanita yang membuatnya demi pria yang disayanginya.” Tanganku telah bersiap menerima kotak bekal itu.

“Kata siapa ini buat kamu? Ini untukku sendiri kok.” Ucapnya berpaling.

“Udah siniin, cacing di perutku udah pada demo semua. Gak tahan dengan aroma nasi goreng cinta yang kamu bawa.” Masih berusaha meraih kotak bekal dari tangannya.

“Iiihhh.. malessin banget sih kamu? Ya udah nih.” Akhirnya dia luluh, dia sodorkan kotak bekal itu dengan menunduk sambil menahan senyum.

“Nah gitu dong dari tadi. Yuk ikut aku.” Kuraih tangannya.

Kupinta Yuni untuk meninggalkan kami berdua. Tak lupa kubisikkan padanya untuk menutup jendela samping pabrik, juga memintakan izin istirahat siang pada paman. Dia hanya mengangguk bergegas masuk pabrik.

Ika hanya manut begitu kuajak ke samping pabrik, disana terdapat beberapa bangku panjang tempat biasa para karyawan beristirahat. Sekarang mereka masih bekerja karena waktu istirahat masih 30 menit lagi.

“Sebelum makan, aku ingin tanya sesuatu.” Ucapku begitu kami duduk di bangku yang paling dekat dengan dinding. Ika hanya diam menungguku melanjutkan. “Aku tau jawabannya sudah jelas. Tapi aku ingin memastikannya lagi. Kamu serius denganku kan?” Kutatap matanya hingga tatapan kami bertemu.

Ika mengangguk pasti. Tiada keraguan pada anggukannya. Kugenggam kedua tangannya, terasa hangat.

“Mulai sekarang aku janji akan bekerja dengan sungguh-sungguh, menabung sedikit demi sedikit, demi masa depan kita. Suatu saat aku pasti akan menikah denganmu, aku janji. Jadi kamu juga harus berjanji untuk  selalu percaya pada perasaanku. Perasaanku padamu yang takkan tergantikan. Janji?” Ucapku masih menatapnya, kugenggam tangannya erat.

“Iya aku janji.” Ika mengangguk pasti dengan senyum merekah.

Perasaan ini kembali bergejolak. Perasaan  yang sama seperti waktu itu. Tanpa pikir panjang, kudekatkan wajahku padanya. Kubelai lembut pipinya yang imut. Dia mulai menutup matanya dan mengangkat sedikit wajahnya.

Cieeee..... melamar nih ceritanya?” Para karyawan tiba-tiba bersorak dan berdesakan mengintip keluar jendela.  Yuni berada di antara mereka. Entah sejak kapan mereka menguping pembicaraan kami, tapi mereka memilih waktu yang tepat untuk mengganggu.

“Wah.. romantis banget!” Teriak Yuni tak mau kalah.

Aku terlalu kaget hingga tak sanggup berkata apa-apa. Kaget bercampur malu kurasakan, yang terjadi untuk kedua kalinya.

Akhirnya aku dan Ika menikmati bekal makan siang bersama para karyawan yang lain. Sesekali gelak tawa bergemuruh saat mereka menyinggungku, membuat tawaku berbaur bersama tawa mereka. Ika pun ikut tertawa, gembira karena kebersamaan dan kekeluargaan yang tercipta siang itu.

Aku telah berjanji. Janji yang pasti akan kutepati. Karena aku akan berusaha yang terbaik demi menepati janji itu suatu saat nanti.



SELESAI..

Thursday, August 31, 2017

Karma Cinta


Di suatu pagi di hari minggu, aku bersepeda santai mengelilingi kompleks perumahanku. Seperti biasanya. Cuacanya yang cerah membuatku bisa menikmati pagi ini. Tidak seperti minggu lalu yang membuatku harus berteduh di rumah sahabatku karena hujan yang datang begitu tiba-tiba kala itu.


Minggu-minggu sebelumnya aku selalu ditemani sahabatku setiap bersepeda. Biasanya kami mengadu stamina masing-masing, untuk menentukan siapa yang paling kuat mengelilingi kompleks beberapa kali. Seringkali aku kalah karena staminaku yang terbatas. Selain karena memang aku hanya bersepeda seminggu sekali, pekerjaanku yang melelahkan juga telah menguras staminaku selama seminggu.

Kuhentikan sepedaku di tempat dia biasa menungguku dengan sepedanya. Entah kemana dia kali ini. Mungkin dia masih tidur pulas di rumahnya. Kuraih hp-ku untuk mencoba menghubunginya.
Tuuuutt... klik.. “Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi.” Suara wanita terdengar lembut.
“Sibuk apanya tidur doang?” gerutuku dalam hati.
Tringg!” hp-ku berbunyi tanda notifikasi sms.
“Sory bro! Gue lagi ada kencan.” Isi sms dari sahabatku.
“Gitu lo ya? Lagi seneng gue dilupain.” Balasku.
“Haha sory bro. Gue lagi sepedaan sama Sari yang kita ketemu minggu lalu.” 
Aku teringat, aku menyapa seorang wanita yang juga bersepeda di tengah perjalanan sebelum akhirnya mengajaknya ikut berteduh di rumah sahabatku itu. Dan memang akhirnya aku membiarkannya mengobrol dengan sahabatku, jadi aku tidak tahu siapa namanya. Jadi namanya Sari. Memang wajahnya cukup manis, dan kemungkinan umurnya sedikit lebih muda dariku.
“Gitu lo ya? Gue yang bawa lo yang embat.” Kukirim balasan protes padanya.
“Salah sendiri lo kasih gue.” Balasnya. Lalu ada balasan lanjutannya “Sory lo sepedaan sendiri ya. Siapa tau nemu cewek lain di tengah jalan. Gud lak!” Tutupnya.

Aku hanya terlalu kaku untuk bisa mengobrol dengan wanita, apalagi wanita yang baru kutemui. Memang aku selalu gagal menjalin hubungan dengan wanita akibat kekakuanku. Haruskah aku belajar dari sahabatku? Karena wanita itu seperti anak kecil yang selalu ingin dimanja dan tidak suka kekakuan.

Lalu tiba-tiba seorang wanita menghentikan laju sepedanya tepat di sampingku begitu aku mulai bersiap melanjutkan perjalanan. Dia tersenyum padaku, aku membalas senyumnya karena aku mengenalnya.
“Kok tumben sendirian Yud? Mana Robi?” Tanyanya masih dengan senyum.
“Dia lagi kencan, gak mau diganggu.” Jawabku.
“Kita kencan juga yuk?” Ajaknya.
“Jangan harap.” Aku lalu mulai mengayuh sepedaku meninggalkannya, tapi dia menyusulku.
Akhirnya kita bersepeda beriringan, sambil mengobrol. Dia adalah tetanggaku, namanya Riska. Rumahnya tepat di seberang rumahku. Aku mengenalnya sejak dia pertama kali pindah ke kompleks ini sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Awalnya dia beserta keluarganya berkunjung ke rumahku,  lalu akhirnya dia sering ke rumahku atau aku ke rumahnya. Kami pun semakin akrab. Aku pun mulai menyukainya karena dia punya hobi yang sama denganku, yaitu bersepeda. Sampai akhirnya aku tahu sifatnya yang menyebalkan, membuat perasaanku padanya memudar.


Memang aku masih sering mengobrol dengannya, karena hampir setiap hari kami bertemu. Tapi perasaanku padanya tak lebih dari sebagai tetangga.
“Yuda, kamu tau gak?” Tanya Riska tiba-tiba.
“Apa? Jangan bilang kalau hari ini kamu belum nyubit orang.” Jawabku teringat dia yang sering mencubitku dengan alasan belum mencubit orang seharian.
“Ya itu juga. Tapi ada hal lain.” Terdiam beberapa saat. “Sebenarnya aku nahan kentut dari pagi biar bisa kentut di depanmu.” Dia mengucapkannya tergesa-gesa sambil mengayuh sepedanya agar berada di depanku. Lalu.. brruuuutttt.... dia melepasnya tepat di depanku sambil mengangkat bokongnya sejajar dengan wajahku. Aku sempat menghindar tapi juga terkena serangan gasnya, karena timingnya yang pas dengan aku yang masih kebingungan tentang apa hal lain yang ingin dia sampaikan, membuatnya tertawa puas melihat wajahku yang memerah akibat kentutnya.
“Kentutmu bisa mempercepat global warming tau? Dan gak ada cowok yang mungkin mau sama cewek bau kentut sepertimu!” Protesku dengan nada kesal.
“Biarin! Kamu juga gak mungkin ada cewek yang mau sama cowok gak peka kayak kamu.” Dia masih tertawa puas sambil tetap mengayuh sepedanya.
Aku masih melanjutkan dengan santai, karena aku sudah terbiasa dengan tingkah menyebalkannya itu. Biarlah dia tertawa puas, karena aku juga sudah terbiasa ditertawakan seperti itu olehnya. Dua kali sudah aku merasa kesal hari ini, setelah sahabatku Robi kini tidak mau menemaniku bersepeda karena sibuk kencan, ditambah wanita aneh yang entah dari planet mana ini membuatku naik darah pagi-pagi. Staminaku terkuras saat itu juga akibat menahan emosi.


Akhirnya aku pulang dengan mood tidak baik kali ini. Seharusnya bersepeda bisa membuat tekanan batinku menurun, malah sebaliknya kualami. Aku menggerutu sepanjang sisa pagi ini.

Sorenya aku bersepeda menuju rumah Robi, sekedar penasaran bagaimana perkembangan kencannya dengan Sari. Aku berani bertaruh dia sedang berbunga-bunga saat ini.

Kulihat pintu rumahnya terbuka, jadi langsung saja kuparkir sepedaku dan masuk ke dalam setelah mengucap salam. Dia sedang di ruang tamu bersama ibunya, tante Yanti, mereka tengah fokus menonton drama India di televisi. Aku yakin Robi tidak menontonnya dengan sungguh-sungguh, karena kulihat dia senyum-senyum sendiri meskipun adegannya sedih.
“Tante, sepertinya Robi kerasukan, jadi dia biar saya ajak cari udara segar dulu ya?” Pamitku pada tante Yanti.
“Iya cepetan bawa. Dia mengganggu konsentrasi dari tadi.” Suruh tante Yanti sambil menyeka matanya yang berair.
“Sini lo ikut gue.” Kutarik lengan Robi yang masih duduk dengan senyumnya yang masih merekah.
Kutarik Robi menuju teras rumahnya untuk memulai investigasi.
“Udah ngapain aja lo sama si Sari sampek seneng banget gini?” Tanyaku memulai.
“Gak ngapa-ngapain sih, cuma bersepeda aja keliling kopleks.” Jawabnya masih dengan senyum, tapi pandangannya jauh ke depan.
“Lo pasti gombalin dia juga kan? Terus dia jadi malu-malu dan lo seneng. Kayak dulu waktu lo naksir Riska.”
“Gak usah bahas Riska, dia buat lo aja. Lagian sekarang masa depan gue udah jelas sama Sari.”
“Yaelah baru sepedaan keliling kompleks udah ngomongin masa depan lo. Nanti kalau akhirnya lo tau sifat aslinya gimana? Mau nangis lagi?” 
“Gue yakin Sari gak seburuk yang lo kira. Lo tau gak dia bilang seneng banget bisa sepedaan bareng gue? Disitu gue tambah yakin kalau dia itu ditakdirkan buat gue.” Dia kini menatapku.
“Terserah lo dah kalau gitu. Jadi mulai minggu ini dan seterusnya lo gak bisa sepedaan bareng gue lagi kan?” Aku hanya ingin memastikan apakah minggu depan aku masih harus menjemputnya.
“Gue sih maunya kita tetap sepedaan bareng. Jadi bertiga gitu. Tapi gue kasihan lo entar ngerasa jadi obat nyamuk. Terus gimana dong?”
“Gue ngerti maksud lo, gak usah sok bingung gitu. Biarlah aku menjalaninya seorang diri, meski ribuan kilometer kujalani, ku kan tetap menjalaninya sepenuh hati.” Sedikit kulontarkan puisi untuk mempertegas keputusanku.
“Lebay lo pake puisi segala. Lo itu emang sobat gue yang paling pengertian Yud.”
“Itulah gunanya sahabat bro.”
Aku dan Robi saling berangkulan dan menepuk pundak masing-masing.



***

_sebulan kemudian

Orang-orang berlalu-lalang, saling bercengkerama menikmati pagi sebelum datangnya siang. Mentari bersinar cukup terik, mencipta siluet yang kadangkala menimbulkan tanya tentang apa yang tergambar olehnya.

Sambil menikmati air mineral masing-masing, aku, Robi, Riska, dan Sari duduk saling berhadapan di bangku panjang yang tersedia di taman kompleks. Dengan wajah tegang Robi tengah bersiap mendengarkan tentang hal penting apa yang ingin disampaikan Sari padanya. Sementara aku dan Riska diminta untuk menjadi penonton.

“Robi, maaf sebelumnya.” Sari mulai berbicara, suasana semakin tegang.
“Tentang apa Sar?” Robi mulai gusar.
“Sebenarnya dari awal kita bertemu, bukan kamu yang aku suka. Tapi Yuda.” Sari menatapku, bersiap untuk melanjutkan. “Dari awal aku memang menyukai Yuda, sampai aku mau diajak bersepeda sama kamu juga biar aku bisa bersepeda bareng Yuda juga. Tapi entah apa yang kalian obrolin sampai Yuda gak lagi bersepeda sama kamu. Kamu pernah janji mau ajak Yuda barengan, tapi kamu gak berhasil membujuk Yuda, dari situ aku mulai males bersepeda sama kamu.” Sari tertunduk seakan menahan perasaannya yang berkecamuk.
Degg.. jantungku serasa berhenti berdetak. Bukan karena perasaan Sari padaku, tapi karena membayangkan betapa hancurnya perasaan Robi saat ini. Sesekali aku menatap Robi yang masih tertunduk, dengan perasaan yang begitu hancur, dan emosi yang tengah campur aduk mengingat perasaannya yang terlampau jauh pada Sari ditolak begitu saja bahkan tak terbalaskan sedikitpun. Aku yakin, malam ini dia akan menangis semalaman dan aku harus menemaninya, menemani kesedihannya.
“Sari, aku juga mau minta maaf.” Aku kini angkat bicara, menilai dari situasinya tak mungkin Robi maupun Sari mau melanjutkan pembicaraannya. “Sama sepertimu, dari awal aku tidak punya perasaan apapun padamu. Itulah mengapa aku memilih membiarkan kalian bersepeda berdua, karena aku mendukung sepenuhnya perasaan Robi padamu. Kini aku sudah punya Riska, meskipun awalnya aku merasa perasaanku padanya hanya sebatas tetangga, tapi akhirnya aku sadar, sadar bahwa aku bisa menerima kekurangannya, sikapnya yang terkadang aneh dan menyebalkan. Dia pun bisa menerima dan sangat memahami kekuranganku. Aku merasa sedang mendapat karma, saat sebelumnya aku dan Riska saling mengejek kekurangan masing-masing, sekarang apa? Malah kita saling bisa menerima. Jadi..”
“Sudahlah, kini semuanya sia-sia buat gue.” Belum sempat aku melanjutkan, Robi tiba-tiba angkat bicara. “Gue tunggu lo di rumah nanti malam, seperti biasa.” Robi pun bergegas menuju sepedanya terparkir, meninggalkanku dengan nada kecewa terlontar dari mulutnya.
“Gue pasti datang bro!” Kukeraskan suaraku untuk mempertegas bahwa aku masih sahabatnya, meski apapun yang terjadi.

Kini yang tersisa bisu, hanya suara derap kaki yang berlalu-lalang. Sari tertunduk dalam, mungkin tengah menutup rapat kelopak matanya mencegah air matanya tumpah di hadapanku. Riska masih di sampingnya, merangkulnya menyediakan pundak untuknya bersandar. Dia berbisik agar aku segera meninggalkan mereka berdua, aku tahu Riska ingin membiarkan Sari menangis sekeras mungkin dengan aku tidak lagi di hadapannya.


_malamnya

Buakk!.. Robi menghantam kepalaku dengan gulingnya sekuat tenaga. Tak mau kalah kuayunkan gulingku mengenai wajahnya sekuat tenaga.
“Kampret lo! Bisa-bisanya Sari suka sama lo?” Robi berteriak sekeras-kerasnya.
“Sialan lo! Gue kira lo bakalan nangis kayak biasanya!” Aku protes sambil mengayunkan gulingku ke arahnya, Robi juga telah siap untuk membalas.
Buakk! Bakk! Bukk!! Begitulah seterusnya hingga malam berakhir.



BERSAMBUNG...

Monday, August 28, 2017

Spekulasi dan Sangka



Cerita ini dimulai saat aku pertama kali menginjakkan kaki di bandara. Bukan untuk bepergian jauh, tapi untuk menjemput saudara yang baru pulang dari tempat jauh. Sebut saja luar pulau. Tapi ini bukan cerita tentang saudaraku, tapi ceritaku saat bertemu seorang gadis pendek tapi imut yang sedang duduk manis menunggu seseorang di dekat pintu keluar penumpang. Kulihat dia sibuk dengan ponselnya sendiri.

“Mau jemput siapa?” kucoba menyapa.

“Teman.” Jawabnya acuh.

“Teman spesial?” tanyaku penasaran.

“Teman biasa.” masih acuh.

“Boleh ikut duduk?”

“Terserah.” 

Aku duduk sedangkan dia masih sibuk dengan ponselnya sendiri. Penampilannya tampak seperti seseorang yang pergi dengan buru-buru. Dengan hanya mengenakan sandal jepit, celana seadanya, dan yang paling menggangguku adalah dia memakai baju safari tapi juga memakai jaket yang membuatnya terlihat tidak sesuai. Sepertinya dia juga tidak membawa apa-apa selain ponselnya. Sudah kuduga temannya ini bukan hanya teman biasa hingga membuat dia terburu-buru kesini tanpa menghiraukan apapun.

Tak mau kalah kukeluarkan juga ponselku sendiri, meski entah apa yang akan kulakukan. Sesekali kuperhatikan tingkahnya yang beberapa kali memutar ponselnya dengan gelisah.

“Landingnya jam berapa?” kucoba membuka percakapan.

“Jadwalnya sih jam enam, tapi ini udah lewat dua jam tapi masih belum ada kabar. Harusnya kan kalo udah keluar pesawat hp bisa diaktifin, tapi dari tadi nomernya gak aktif.” Jawabnya semakin gelisah. Kini aku tahu apa yang membuatnya gelisah sedari tadi.

“Udah janjian kan yang mau jemput?”

“Ya iyalah, kita itu lebih dari sekedar teman. Ada apa-apa itu pasti saling menghubungi.” Jawabnya dengan nada tinggi.

“Biasa aja kali. Aku kan cuma memastikan.” Ucapku. “kupikir cuma teman biasa.” sambungku lirih.

“Kamu ngapain disini?”

“Mau jemput saudara.”

“Ngapain duduk disini? Disana kan masih ada. Tuh sebelah sana juga masih banyak yang kosong.” Nadanya terdengar sedikit kesal sambil menunjuk beberapa kursi kosong dengan dagunya.

“Harusnya kamu berterimakasih udah ditemenin. Dari tadi kulihat kamu gelisah sendirian kayak anak ayam cari induknya.” Sergahku santai.

Terdiam beberapa saat.

“Kamu duduk disini karena mau kenalan kan? Aku Monika.” Ucapnya lirih sambil sedikit menunduk.

“Ehh? Mau nikah? Sama teman spesialmu itu?” aku salah dengar.

“Monika bego! Itu namaku. Niat kenalan gak sih?” bentaknya dengan nada serius.

“Maaf-maaf aku salah dengar. Ehm.. namaku Eko.” Ucapku sambil mencoba tersenyum sambil menjulurkan tanganku. Dia mengacuhkannya.

“Kenapa gak coba hubungi saudaranya atau keluarganya? siapa tahu dia udah pulang atau pesawatnya delay?” kucoba menenangkan sambil menarik tanganku yang diacuhkannya.

“Itulah masalahnya, aku gak punya nomor keluarganya.”

“Waduh, susah juga.”

Beberapa kali kucoba menenangkan, karena dalam pandanganku pesawat yang ditumpangi temannya mengalami kehilangan kontak 2 jam yang lalu. Akhirnya mulai dicari oleh tim SAR dan ditemukan hancur berkeping-keping dengan korban berserakan. Dan beritanya harusnya sudah menyebar di televisi sekarang ini. Tapi itu hanya dugaan tak berdasar dari seseorang tanpa pengalaman naik pesawat sepertiku.

Kriiiinngggg....... ponselku berbunyi. Ada panggilan dari kakakku.

“Ada disini ternyata. Dicari dari tadi.” Kakakku muncul dengan ponsel di tangan dan tas ransel di punggungnya.

“Eh kak sudah turun? Mana barang-barangnya?” tanyaku sambil bersalaman.

“Tuh di troli. Kamu angkat dua ya.” Ucapnya sambil menunjuk troli di belakangnya.

“Oke” jawabku langsung mengambil 2 koper lumayan besar.

Aku dan kakakku langsung mengambil langkah menuju jalan keluar sambil sedikit berbincang.

“Yang tadi duduk denganmu itu siapa? Kenal?” tanya kakakku sedikit penasaran.

“Namanya Monika. Katanya dia mau jemput temannya tapi belum ada kabar padahal katanya pesawatnya harusnya landing dua jam yang lalu.” Jawabku santai.

“Terus kamu bantu?”

“Enggaklah kak. Dia cuek gitu orangnya.”

“Balik lagi ayuk. Bantu dia.” Ucap kakakku berbalik tanpa menghiraukanku.

Entah apa yang dipikirkan kakakku. Tapi dari sikapnya sepertinya dia tahu permasalahannya dan mungkin tahu bagaimana menyelesaikan masalah Monika. Umur kakakku beda 5 tahun dariku, tapi kedewasaannya jauh sekali di atasku. Dari berbagai pengalaman yang didapatnya dari pergaulannya juga dari tempatnya merantau, mungkin itu yang sedikit demi sedikit menumbuhkan sikap dewasanya. Dan aku yang layaknya anak kecil yang masih ingusan dan dipenuhi rasa penasaran seringkali menimbulkan masalah tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya. Sedikit menyesal kugunakan masa remajaku hanya untuk bermain-main dan mencari kesenangan.

Monika menatapku dari kejauhan dengan sedikit penasaran. Tanda tanya muncul di ekspresinya. Dia masih terus mencoba menghubungi temannya melalui ponselnya, tapi malang dia masih gagal.
“Ikut aku.” Ajak kakakku begitu ingin kujelaskan maksud kakakku pada Monika.

Aku meyakinkan Monika untuk menurut saja ucapan kakakku. Dengan sedikit berat dia akhirnya ikut juga. Entah apa yang akan dilakukan kakakku tapi dia mulai mencari-cari petugas bandara untuk ditanyai sesuatu. Terlihat dia sedikit berbicara dengan 2 petugas yang berjaga di pintu masuk keberangkatan, kemudian dipanggilnya Monika dan mulai menanyainya. Ternyata Monika benar-benar tidak tahu detail kedatangan temannya itu hingga membuat salah seorang petugas itu garuk-garuk kepala.

“Tapi kalau sriwijaya air yang dari Ambon itu tidak ada yang jadwalnya jam enam. Ada yang jam lima dan ada jam delapan yang baru saja landing.” Yang seorang lagi mencoba menjelaskan.

Kami bertiga tersentak kaget. Tampaknya Monika lebih kaget lagi, terlihat dia menunduk lesu tampak kecewa.

Kamipun undur diri setelah mengucapkan terima kasih pada kedua petugas yang masih geleng-geleng kepala setelah mengetahui permasalahan Monika.

“Dasar penipu!” bentak Monika geram.

“Kalau udah begini mending kamu pulang dulu, nanti temui temanmu itu dan minta penjelasan darinya. Siapa tahu hanya salah paham.” Ucap kakakku mencoba menenangkan.

Monika hanya tertunduk diam. Kubisikkan sesuatu pada kakakku setelah teringat mungkin Monika tidak membawa uang karena kulihat dia tidak terlihat membawa dompet ataupun tas. Kakakku mengangguk.

“Gak bawa uang kan?” tanya kakakku memastikan.

“Eh? Iya kak. Kok tahu?” jawab Monika sambil cengengesan.

“Menurut Eko penampilan kamu terlihat seperti seseorang yang terburu-buru datang kesini tanpa memikirkan apapun. Tanpa mikir pakaiannya cocok, tanpa mikir harus bawa uang berapa, tanpa pertimbangan ini-itu. Yang penting bisa sampai kesini.” Kakakku memperjelas spekulasiku.

“Ya gitu deh. Kok bisa tahu kamu?” Monika menatapku sedikit heran.

“Aku kan punya indra ketujuh.” Jawabku dengan nada bercanda.

“Punya indra ketujuh tapi mau kenalan susah, ya percuma.” Ledeknya padaku.

“Sudah-sudah. Itu sopir kita sudah menunggu.” Ucap kakakku sambil menunjuk sopir taksi yang tengah mencari-cari penumpang.

Kami bertiga naik taksi, si sopir menyimpan barang-barang kami di bagasi dan duduk di kursi kemudi bersama kakakku. Sedang aku dan Monika di kursi penumpang agar lebih leluasa untuk berbincang. Pertama menuju rumah Monika sesuai arahannya pada si sopir. Rumahnya berjarak 5 kilometer dari bandara.

Taksi pun melaju meninggalkan bandara, menyisakan kenangan manis untukku dan mungkin kenangan pahit untuk Monika. Aku tidak ingin berprasangka apapun pada teman spesialnya itu, spekulasiku mengenai hal ini adalah si temannya itu tidak menganggap Monika begitu spesial, mungkin hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Sedangkan Monika mungkin telah menerima berbagai hal dari teman spesialnya itu dan menanggapinya terlalu berlebihan. Akhirnya perasaannya-pun mencuat ke permukaan dan mungkin berlebih hingga tak sanggup lagi ia bendung, membuatnya tak lagi berpikir logis dan menerima semuanya tanpa perlu lagi ingin menimbang ini-itu. Aku tidak ingin menyalahkannya, kebanyakan wanita memang seperti itu. Mungkin yang membedakan hanya bagaimana mereka menyikapinya.

Aku dan Monika sesekali mengobrol membicarakan hal yang tidak begitu penting, aku hanya tidak ingin menyinggung tentang teman spesialnya itu yang hanya akan memperburuk suasana hatinya. Tak lupa saling bertukar nomor ponsel dengan alasan ingin agar lebih akrab, atau bila suatu saat dia ingin membalas budi pada kakakku.

Sopir taksi memutar setirnya di tikungan setelah lampu lintas menyala hijau sesuai arahan Monika. Beberapa puluh meter kemudian mobil pun berhenti di depan sebuah rumah cukup besar dengan pagar coklat. Kakakku turun dan mengantar Monika ke rumahnya, disambut seorang wanita paruh baya yang kemungkinan adalah ibunya Monika. Kakakku memberiku kode untuk segera menyusul turun menemui ibu itu. Aku hanya manut.

“Ika Nurlaila, kemana aja kamu? Tadi jam lima buru-buru pergi dari rumah, sekarang pulang bersama orang asing.” Sempat kudengar ibu itu membentak Monika.

“Maaf bu, kita orang Indonesia kok bukan orang asing.” Celetukku dengan sedikit menyunggingkan senyum.
Kita berempat diam beberapa saat mendengar celetukku. Kakakku sedikit menyikut lenganku sambil berbisik untuk menjaga sikapku. Aku meminta maaf kemudian kakakku menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada ibu itu. Tak salah bila seorang ibu mengkhawatirkan anaknya dan mulai mencurigai orang lain, apalagi orang yang tidak dikenal. Naluri seorang ibu memang selalu begitu, dibalik ucapannya yang mungkin terdengar seakan sedang marah, terdapat kasih sayang yang begitu besar. Akhirnya ibu itu meminta maaf sekaligus berterima kasih pada kakakku begitu mendengar penjelasan yang sebenarnya. Tak lupa ibu itu juga meminta Monika untuk berterima kasih juga padaku dan kakakku.

Kakakku kemudian berpamitan dan segera bersiap menaiki taksi. Tak lupa juga aku dan Monika berpamitan dan beberapa kata-kata indah kulontarkan  untuk memberinya kesan yang baik. Sesekali dia tersenyum tersipu.

Begitulah kehidupan, setiap pertemuan selalu diakhiri perpisahan, tapi semoga saja ini bukan perpisahan selamanya. Aku masuk taksi diantar Monika dan ibunya. Pintu tertutup membuatku melambai dari baliknya.

“Ika Nurlaila! Itu namaku, jangan ragu untuk menghubungiku ya! Hapus nama Monika dari kepalamu!” teriaknya begitu sopir mulai menyalakan mobil. Senyumnya mengembang tanpa ragu, tangannya melambai ke arahku.

Aku membalas lambaiannya sambil tersenyum, dan mobil pun melaju menembus gelapnya malam yang diterangi lampu jalan yang berjejer rapi menghiasi kota ini.

“Ika Nurlaila, nama yang indah. Kamu bersinar malam ini.” Gumamku dalam hati sambil membetulkan posisi duduk.

“Sudah mulai ada peningkatan. Berkat gurauan indra ketujuh kamu dapat teman baru, sepertinya ceritanya akan terus berlanjut. Aku berani taruhan kamu setidaknya sudah mencoba kenalan dengan beberapa cewek sebelum mendekati cewek yang tadi.” Ucap kakakku dari samping kursi kemudi.

“Hahaha.. diam kamu!”

“Hahaha..”

Kakakku tertawa, aku tertawa, sopir pun ikut tertawa. Suara gelak tawa meramaikan suasana, mengantarkan mobil taksi yang kami tumpangi menuju arah tujuan..





Monday, August 21, 2017

Izul dan Impiannya

_Minggu pagi
Pagi hari di sawah. Semua petani menyibukkan diri sejak subuh tadi. Menggarap tiap meter tanah dengan sisa batang padi yang baru dipanen, agar siap menghadapi musim tanam selanjutnya. Dengan musim hujan yang tak menentu seperti sekarang, membuat para petani bisa langsung menanami sawahnya tak lama setelah panen. Peluh mulai bercucuran mengiringi hunjaman pacul ke tanah, yang tanpa ampun sebisa mungkin menggemburkannya. Sapi-sapi sesekali melenguh mendapati pecutan majikannya yang tidak sabar, demi segera lolos dari pekerjaan melelahkan ini.

Begitupun diriku, dengan kaos yang sedari tadi telah basah oleh keringatku sendiri, masih dengan setia membantu ayahku membajak sawahnya. Hanya aku yang membantunya. Tidak ada tenaga sapi yang mampu ayahku dapatkan untuk sekedar meringankan pekerjaan taninya. Tubuhnya memang jauh lebih tua dariku, tapi semangatnya semuda pejuang kemerdekaan terdahulu. Aku hanya sedikit mengeluh sambil sesekali menyeka keringat dengan kaosku, membuatnya semakin kumal.
"kak doni, ada yang perlu dibantu gak? Tapi kasih upah dua ribu ya?" Suara anak kecil terdengar melengking di belakangku.
Aku menoleh ke arah suara, sambil melambai. Membuatnya menunduk lesu.

Dialah Izul, anak tetanggaku yang baru berumur 6 tahun. Tapi semangatnya mondar-mandir dari satu petak sawah ke petak yang lain sangat jauh diatasku. Langkah kecilnya yang terkadang diiringi lompatan kecil seakan tengah bermain di lapangan permainan. Seringai khasnya dia sunggingkan tiap kali berpapasan dengan petani lain. Berharap tenaganya diperlukan demi mendapat upah 2 ribu perak. Dia memang belum mengerti soal uang, tapi mungkin itulah yang dia pelajari dari ayahnya yang kondisi keuangannya masih dibawah ayahku. Dia anak tunggal sepertiku. Tapi kedua orangtuanya sama sekali tidak punya sawah untuk dibajak sendiri. Jadi harus berkeliling dan menemui tiap tuan sawah dengan harapan tenaganya diperlukan meski hanya untuk mencabuti rumput liar.

Banyak hal kudengar tentang keluarga mereka, mereka makan seadanya. Dengan uang yang dikumpulkan sehari penuh dari membantu petani lain, hanya cukup untuk membeli beras. Membuat mereka seringkali harus mengkonsumsi nasi garam demi memenuhi kebutuhan pencernaan mereka.

Tidak pernah kudengar Izul mengeluhkan masalah nasi garam, dia malah bersyukur masih bisa makan. Ayahku yang merasa kasihan pada Izul terkadang memberinya singkong rebus saat dia tidak sengaja lewat ketika aku dan ayahku tengah beristirahat siang, membuatnya berlari sambil sesekali meloncat kegirangan. Ayahku hanya menanggapinya dengan senyum, sambil melahap sisa singkong rebus dari bekal kami.

Sore hari saat aku dan ayah mulai bersiap pulang setelah menyelesaikan pekerjaan melelahkan di sawah, Izul menghampiriku dengan wajah yang basah oleh keringat. Tubuhnya tampak begitu lelah. Seperti biasa dia selalu ingin pulang bersamaku.

"Bantu siapa aja tadi?" Tanyaku saat kami mulai mengambil langkah pulang.
"Pak Tono, pak Timin, sama pak Juki yang sawahnya disana tu." Jawabnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah sawah mereka masing-masing.
"Sawah pak Juki kan jauh? Diupah berapa?" Tanyaku begitu melihat dia merogoh kantongnya.
"Dua ribu juga, tapi warna lain." Katanya sambil menunjukkan uang lembar 5 ribu.
"Waahh banyak tuh. Ini sih lima ribu, upah pak Tono kalo ditambah sama upah pak Timin gak sampek segini."
"Beneran kak doni? Waah.. bisa beli anak ayam dong?" Wajah Izul berubah cerah mendengar jawabanku.
"Kamu suka anak ayam?"
"Iya dong.. aku mau pelihara dua. Biar nanti kalo udah besar dan bisa berkokok bisa bangunin aku waktu subuh. Biar gak telat terus bangunnya." Jawabnya penuh semangat.
"Tabungannya udah banyak belum?" Tanyaku begitu teringat bahwa dia suka menabung sebagian hasil pekerjaannya.
"Pernah waktu itu banyak banget. Tapi diminta ayahku buat beli pacul sama telur. Katanya bosen makan nasi garam." Jawabnya sedikit lesu.

Kami pun melanjutkan langkah agar sesegera mungkin dapat beristirahat dengan tenang, untuk bersiap menghadapi pekerjaan melelahkan lainnya di esok hari. Ayahku hanya membisu sepanjang perjalanan pulang, seperti biasanya. Tapi sekarang ayahku lebih sering senyum sejak kuberikan baju takwa yang dibelikan Rina. Beliau tidak pernah memakainya, mungkin baju baru mengingatkannya saat pertama kali dibelikan ibu. Aroma barunya, warnanya dan coraknya, kebahagiannya. Mungkin itu bisa membuat ayahku merasakan lagi saat-saat ibuku pertama kali memberikannya. Dan mungkin ayah tidak ingin merusak kenangan itu.

**
_senin sore
Sepulang dari sawah, aku hanya duduk-duduk santai di kursi panjang yang ada di bawah pohon mangga depan rumahku. Sambil sesekali mengeluarkan ponsel saat ada pemberitahuan pesan masuk. Hubunganku dengan Rina kini semakin dekat sejak seminggu yang lalu, dan dia semakin sering mengirimiku sms walau sekedar menanyakan aktifitasku. Tidak begitu penting memang, mengingat aktifitas keseharianku yang terbilang biasa saja. Tapi ada setitik perasaan senang setiap kali ponsel ini berdering, seakan Rina berada begitu dekat denganku setiap saat.
Kulayangkan pandangan pada sekitar, seorang anak kecil terlihat mondar-mandir di samping rumahnya, itulah Izul. Rumahnya cukup dekat dengan rumahku, hingga aku bisa melihat rumahnya dari halaman depan rumahku. Terlihat Izul keluar-masuk rumahnya beberapa kali, entah apa yang dikerjakannya. Aku penasaran, jadi aku segera menuju rumahnya khawatir terjadi sesuatu yang buruk.

“Ngapain kamu Zul? Dari tadi mondar-mandir keluar-masuk kayak induk ayam kehilangan anaknya." Tanyaku begitu sampai di rumahnya.
“Ehh kak ini lagi bikin kandang ayam. Aku baru beli dua anak ayam loh." Jawabnya kegirangan sambil menunjukkan kardus berisi dua anak ayam yang baru menetas.
“Waahh... lucu-lucu ya mereka. Ya udah tak bantuin juga ya."
Akhirnya aku membantu Izul membuat kandang ayam berukuran kecil. Aku membelah dan meraut bambu, sedangkan Izul kuminta untuk mengikat tiap bambu yang kususun. Dia melakukannya dengan semangat, meski keringatnya masih basah sisa dari sawah. Sesekali seringai khasnya dia sunggingkan mengiringi tiap candaan yang kulontarkan. Benar-benar anak ajaib, gumamku dalam hati.

Akhirnya susunan bambu telah tersusun rapi dan terikat dengan kuat. Kuminta Izul mengambil daun pisang sebanyak-banyaknya untuk dijadikan atap. Masih dengan penuh semangat dia langsung berlari menuju pepohonan pisang. Tak begitu lama Izul kembali dengan tergopoh-gopoh membawa banyak sekali daun pisang, masih dengan seringainya. Lalu kutata daun pisang yang telah kupotong dua pada bambu yang kusediakan diatas kandang yang telah jadi. Setelah beberapa tumpukan daun pisang tertata, kupasang lagi sebilah bambu di atasnya yang kemudian kuikat. Dan jadilah kandang ayam sederhana karyaku dan Izul. Tak lupa juga kuletakkan mangkuk plastik kecil untuk tempat air, dan piring kecil untuk tempat makannya.

Izul meloncat-loncat kegirangan begitu kedua anak ayamnya dimasukkan ke kandang buatannya sendiri. Tak henti-hentinya dia berteriak-teriak layaknya baru mendapat hadiah. Dalam pandanganku itu seperti mimpi yang baru saja terwujud. Kemudian dia segera masuk ke rumahnya dan kembali dengan piring berisi separuh nasi, dia bilang itu jatah makan siangnya yang sengaja dia sisakan separuh, demi ayamnya. 

Aku hanya tertegun melihat pemandangan di hadapanku. Seorang anak kecil yang rela mengurangi jatah makannya demi anak ayam peliharaannya, dan demi tercapainya mimpinya yang sederhana. Aku benar-benar merasa kalah jauh dari anak ini. Baik dalam segi ketekunan kerja, juga dalam semangat menggapai mimpi. Rasanya ada lecutan keras menghantam punggungku, itu menyadarkanku. Masa kalah sama anak kecil, gerutuku dalam hati berkali-kali.

SELESAI..