(seri kedua dari “Spekulasi dan Sangka”)
Asap mengepul di ujung tempat dapur
berada, bartender berlalu lalang menyapa setiap pengunjung yang datang, aroma
khas kopi tercium dari arah sekelilingku. Kafe, tempat termewah yang pernah
kudatangi.
Setelah sering berkomunikasi dan bertukar
cerita, malam ini aku dan Ika membuat janji untuk bertemu di sebuah kafe di
Surabaya. Ika yang menentukan tempatnya, dan kini dia terlambat dari waktu pertemuan
yang ditentukan. Aku telah lebih dahulu memilih meja untuk kita berdua dan
mengiriminya pesan begitu meja kudapat. Sesekali kulihat arlojiku yang semakin
menjauh dari waktu pertemuan, baru sepuluh menit tapi aku merasa gugup seakan
telah menunggu berjam-jam.
Aku melambai pada seorang wanita dengan
cardigan biru dan topi kupluk yang melangkah masuk dengan celingak-celinguk,
itu dia akhirnya datang. Kini dia melangkah ke arahku sambil tersenyum simpul,
lalu menyapa dan menyalamiku. Dia memakai pakaian kasual dan santai, tapi
terlihat sempurna di tubuhnya. Kupersilahkan dia duduk di hadapanku dan
membiarkan bartender mencatat pesanan kami.
“Kopi susu panas. ” Pesananku dicatat.
“Coffee ice with latte.” Pesanan Ika juga
dicatat.
Dari pesanan kami terlihat jelas siapa
yang sering nongkrong di tempat seperti ini. Kumulai dengan obrolan sederhana
untuk mencairkan suasana, hal yang seharusnya dilakukan saat pertemuan pertama.
Lalu dilanjutkan dengan menyinggung penampilan masing-masing.
“Kamu itu kelihatan banget cantiknya kalau
pakai baju itu.” Kulontarkan pujianku.
“Kamu bisa aja. Aku cuman gak mau disebut
‘tanpa memikirkan apapun’ lagi oleh seseorang yang punya indra ketujuh.” Dia
berusaha menghindar. Aku tertawa.
“Kan aku udah pernah bilang, aku gak punya
indra ketujuh. Sebenarnya aku cuman tahu caranya mengkritik seseorang dari
memperhatikan penampilannya.” Aku menjelaskan.
“Iya aku tahu kok.” Jawabnya santai.
Bartender dengan rambut cepak membawa
nampan dan meletakkan pesanan kami di meja.
“Silakan pesanannya. Coffee latte with ice
untuk mbaknya, dan kopi susu panas untuk masnya.”
“Terima kasih.” Ucapku dan Ika hampir
bersamaan.
Lalu obrolan pun dilanjutkan sambil
menikmati kopi masing-masing. Sesekali kuperhatikan Ika mengaduk kopinya dengan
sedotan, lalu meminumnya perlahan.
“Eh, ngomong-ngomong katanya kamu mau
ceritain sesuatu? Apa?” tanyaku penasaran mengingat dia pernah menyinggungnya
sebelumnya.
“Kamu dengerin ya. Soalnya ceritanya
panjang banget. Dimulai saat aku berkenalan dengan seorang cowok di facebook,
namanya Rifki. Orangnya ganteng, ramah, dan baik hati pula. Awalnya dia
menyapaku, lalu aku ladeni, akhirnya kita kenalan dan seterusnya. Setiap hari
kita chattingan sampai curhat-curhatan, dia juga bilang suka padaku dan ingin
bertemu denganku suatu saat. Dia merantau di Ambon udah lama banget, dan ada
rencana mau mudik dalam waktu dekat. Itu udah terjadi sejak setahun lalu, ya
gitu kita selalu chattingan. Saling komentar di postingan masing-masing, sampai
saling tukar foto, saling tukar nomor handphone. Jadi hampir setiap malam dia
meneleponku, dia bilang suaraku bagus. Jujur aku jadi suka padanya. Lalu
akhirnya aku tahu dia akan mudik, jadi aku menagih janjinya dan ingin
menjemputnya di bandara. Dia memberitahuku jadwal dia tiba hanya sejam sebelum
jadwalnya. Dan seperti yang kamu tahu, aku langsung buru-buru pakai baju
seadanya, bawa uang yang ada di kantong yang hanya cukup untuk ongkos naik
taksi ke bandara tanpa memikirkan bagaimana pulangnya, yang penting aku ingin
segera bertemu dengannya.
Di bandara aku menunggu sambil mencoba
menghubunginya dan berpesan padanya bahwa aku menunggunya, tapi sejak kabar
terakhir dia memberitahuku jadwal kedatangannya dia tidak lagi menghubungiku
ataupun mengaktifkan ponselnya. Aku jadi gelisah. Lalu di tengah kegelisahanku,
aku memperhatikan seorang cowok sedang mencoba merayu beberapa cewek. Dia
benar-benar payah dalam hal itu, yang dia lontarkan hanya rayuan yang sama.
Kurasa akhirnya dia menyerah dilihat dari wajahnya yang terlihat lesu. Lalu dia
mulai memperhatikanku, kuduga dia akan segera menggodaku, dan benar saja dia
mendatangiku dan mengajakku basa-basi. Awalnya aku cuek padanya, tapi kucoba
membuka hati siapa tahu dia bisa menghiburku selagi aku menunggu Rifki. Dia
lumayan asyik, dan sedikit cerewet sih. Namanya Eko.” Ika melirikku sambil
menahan senyum. Aku hanya tersenyum sambil menunggu kelanjutan ceritanya.
“Lalu kuceritakan bahwa aku punya masalah,
sepertinya dia tidak terlalu ingin membantu. Gak lama setelah itu kakaknya
datang, dia malah langsung pergi. Jadi kupikir dia memang tidak punya niat
baik. Setelah beberapa kali mencoba menelepon Rifki lagi, dia kembali bersama kakaknya
dan menawarkan bantuan, aku senang banget waktu itu. Dalam pandanganku, dia
berbeda sekali saat bersama kakaknya. Dia seperti seorang adik yang beranjak
dewasa daripada perayu cewek. Jadi kuputuskan untuk mencoba mengenalnya lebih
jauh. Dan begitulah, kini dia berada di hadapanku dengan senyumnya.” Ika
menutup cerita.
“Lalu, bagaimana perasaanmu setelah tahu
Rifki yang sebenarnya?” tanyaku.
“Kecewa lah. Di fotonya kelihatan ganteng,
aslinya malah gak ganteng-ganteng amat. Apalagi setelah tahu dia udah punya
anak-istri, aku kecewa pake banget. Pokoknya gak mau lagi kenal-kenalan di
dunia maya, mending cari yang nyata aja.” Jawabnya dengan nada kesal.
Waktu kita lewatkan dengan saling bertukar
cerita dan pengalaman. Ternyata dia telah mengalami beberapa hubungan melalui
dunia maya, bahkan sempat pacaran yang berawal dari kenalan di facebook. Aku
hanya membayangkan, bagaimana caranya dia menumbuhkan perasaan pada seseorang
yang tidak pernah dilihatnya secara langsung.
Tanpa terasa, malam kian larut. Ika
terlihat lesu dengan mata yang sayu. Aku menawarkan untuk mengantarnya pulang,
dia tidak menolak. Lalu dengan senang hati aku mengantarnya pulang setelah
membayar di kasir.
Angin malam yang menerpa membuat Ika harus
memegangi topi kupluknya saat motorku melaju agar tidak terlepas. Kuhentikan
motorku untuk menawarkan helmku agar dipakainya, dia memakainya tanpa ekspresi
mungkin karena kantuknya. Lalu kulanjutkan perjalanan.
“Aku meluk ya, soalnya ngantuk banget.”
Ucap Ika lirih sambil tangannya melingkari pinggangku.
Aku hanya membiarkannya, membiarkan
tubuhnya menghangatkanku untuk mengusir dinginnya terpaan angin. Kepalanya
telah bersandar ke punggungku. Masih beberapa kilometer lagi untuk sampai di
rumah Ika dan malam sudah selarut ini, bagaimana aku pulang? Itulah yang
terbayang dalam benakku.
Diterpa angin malam tanpa helm membuat
mataku berair, sesekali kupicingkan mata untuk menghindarinya. Kuusap mataku
saat air mata mulai menggenang, beberapa kali kukedip-kedipkan membuatku sesaat
kehilangan fokus ke jalan. Hingga terlambat kusadari sebuah mobil yang baru
keluar dari gang dengan terburu-buru, membuatku tidak sempat menghindar dan
motorku menabrak bagian sampingnya. Tubuhku menghantam pintu mobil dengan keras
akibat kencangnya laju motorku juga tubuh Ika yang masih memelukku dengan erat.
Aku tersungkur, telingaku berdenging, darah mengucur menutupi pandanganku.
Terakhir kulihat sopir mobil yang kutabrak berteriak kalut sambil meminta
bantuan orang-orang sekitar, dan orang-orang mulai berkerumun.
***
_dua minggu kemudian
Aku terbangun dari tidur, akibat suara
berisik di luar. Samar-samar aku mengenali suara itu, Ika. Terakhir kudengar
dia hanya mengalami patah tangan saat aku baru tersadar seminggu lalu. Aku
sedikit lega dia tidak terluka serius gara-gara aku.
Pintu kamarku terbuka, ibuku yang pertama
kali masuk. Lalu disusul Ika dan orang tuanya. Ika langsung menghampiriku.
“Hai.. apa kabar?” ucapku sambil tersenyum
saat melihatnya terdiam beberapa saat.
“Kamu itu ya, udah kepala diperban,
tiduran di kasur, kaki masih pakai gips. Kamu gak berhak tanya begitu tahu?”
bentaknya dengan mata berair.
“Aku kan nanya. Tanganmu kan juga di gips,
digantung pula.”
“Mending tanganku yang digantung, daripada
perasaanku yang digantung.” Ucapnya sambil menahan senyum.
“Jiaahh.. malah curhat.”
Aku dan Ika tertawa, orang tua Ika hanya
tersenyum menanggapinya, mereka masih mengobrol dengan ibuku sambil sesekali
memperhatikanku. Aku tidak begitu mengenal mereka, tapi mungkin Ika telah
bercerita tentangku pada mereka.
“Waktu itu, kamu kok kasih helmmu padaku
sih? Coba kamu tetap pakai helm, kepalamu gak mungkin diperban kayak gini.”
tanya Ika sedikit lirih.
“Kasihan aja kamu sampai harus pegangin
kuplukmu, kulihat juga kamu ngantuk banget. Lagian itu udah kehendak takdir.”
Jawabku masih menatapnya.
Orang tua Ika meninggalkan kamarku bersama
ibuku setelah mengucapkan beberapa kata, Ika belum melepas tatapannya dariku.
Kini hanya kami berdua, di dalam kamarku yang dipenuhi aroma obat-obatan dan
perban.
“Melihatmu begini gara-gara aku, aku jadi
sayang sama kamu.” Ucapnya lirih dengan nada menurun, lalu menyandarkan
kepalanya ke perutku. Terasa sesak sih, tapi kubiarkan saja.
Aku jadi berpikir, apakah kata-katanya
serius? Atau sesingkat itukah dia menumbuhkan perasaannya padaku? Begitu
mudahnya dia jatuh hati, seakan sebuah perasaan baginya seperti kecambah yang
mudah tumbuh lalu menghilang begitu saja. Itu membuatku sedikit bingung
bagaimana menanggapinya, tapi dia imut sih.
“Masa’ cewek yang nyatain perasaan? Gak
seru lah.” Protesku.
“Biarin, daripada keduluan.”
“Keduluan? Sama siapa?” tanyaku penasaran.
“Tuh di depan, yang matanya bengkak kayak
abis nangis lama. Nangisin kamu kan!” Jawabnya cemberut.
“Haha.. itu sepupuku. Kucingnya mati
ditabrak motor kemarin. Nangisnya semalaman. Kamu itu aneh, masa’ iri sama
sesuatu yang belum jelas.” Aku memegang kepalanya, kini kita bertatapan. “yakin
kamu serius?” sambungku memastikan.
Dia hanya mengangguk pelan.
“Yakin kamu mau sama aku yang dipenuhi
perban gini?” tanyaku lagi.
“Enggaklah, aku lebih suka kamu yang
sehat. Makanya cepat sembuh ya.” Jawabnya.
Lalu cupp.. Ika mencium keningku,
membuatku beku beberapa saat.
“Aku akan menunggu sampai kamu sembuh.”
Ucapnya sambil memegang tanganku.
Aku menatapnya lama, masih tidak percaya
yang baru saja terjadi. Aku harus cepat sembuh.
No comments:
Post a Comment