Tuesday, March 19, 2019

Janji


(Seri terakhir dari 'Spekulasi dan Sangka' dan 'Cerita Ika')


Dua bulan berlalu sejak kecelakaan menimpaku, kini aku telah pulih sepenuhnya, meski masih dibantu tongkat untuk berjalan karena tulang pahaku yang belum tersambung sempurna. Walaupun begitu aku sangat bahagia, bahagia karena selalu ada tongkat hidup yang bersedia menopangku kemana saja. Seseorang yang sangat spesial bagiku, dan aku pun spesial baginya. Ika Nurlaila, yang kini menjadi kekasihku sejak dia dengan berani mengungkapkan perasaan sayangnya padaku kepada orang tuaku. Dan bersedia menemani dan merawatku sampai sembuh total.

“Jalannya pelan-pelan dong sayang, biar cepat sembuh.” Ucapnya lembut penuh perhatian, dengan tangannya melingkari lenganku.

“Gak apa-apa biar kakiku terlatih dan terbiasa.” Ucapku sambil mempercepat langkahku.

“Tapi kan pelan-pelan juga bisa.” Protesnya.

“Iya-iya. Gak usah manyun gitu dong, nanti manisnya hilang.” Sambil kubelai lembut pipinya, membuat senyumnya kembali merekah.

“Iiihh.. kamu gombal terus. Jalan sendiri aja.” Ucapnya lalu melepas rangkulannya dari lenganku.

“Ngambek terus.”

Langkah kaki ini semakin ringan seiring bergantinya hari. Semangatku untuk sembuh selalu terpompa berkat dukungan tanpa henti yang Ika berikan. Memang dia sesekali bosan denganku karena aku yang selalu merayunya, tapi itu tidak pernah bertahan lama. Begitulah hubungan, sama halnya dengan roda kehidupan yang kadang di atas dan kadang d bawah, juga pasti akan kembali lagi seperti semula.

Ika selalu siap kapanpun aku ingin jalan-jalan keluar, karena aku telah hafal jadwalnya sibuk dengan kuliahnya. Dia sempat cuti kuliah selama 3 minggu akibat kecelakaan waktu itu, jadi dia harus ngebut mengejar ketertinggalannya. Sedangkan aku harus cuti kerja sampai benar-benar sembuh, karena bosku yang baik hati tidak tega untuk melihat karyawannya yang bekerja mengandalkan kakinya harus bekerja dengan kondisi pincang. Aku bekerja di pabrik sepatu milik pamanku, dan tugasku adalah mondar-mandir mencatat setiap detail hasil produk yang dikerjakan karyawan lain, lalu mendistribusikannya ke berbagai tempat sesuai pesanan.

“Duduk dulu ya. Capek aku.” Aku duduk di depan sebuah toko saat kakiku mulai terasa letih. Ika masih bersamaku dengan tatapannya yang penuh perhatian.

“Sayang.. terimakasih karena kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku.” Ucapku sambil menggenggam tangannya.

“Seharusnya aku yang berterimakasih. Berkat kamu aku jadi tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dengan begitu dalam, bahkan aku masih ingin untuk masuk lebih dalam lagi. Berbeda sekali dengan perasaanku sebelumnya yang kusebut cinta, karena kali ini aku benar-benar jatuh cinta.” Nadanya sungguh-sungguh dengan senyum manisnya kembali merekah.

Aku tidak bisa berkata apa-apa, perasaanku bergejolak tak bisa kutahan, sampai ingin sekali aku menciumnya. Kudekati wajahnya, dia mulai menutup mata.

“Woy! Pacaran jangan di depan toko gue!” Bentak pemilik toko yang tiba-tiba keluar untuk protes dengan nada tinggi, urat lehernya menyembul keluar.

“Maaf Om kami gak bermaksud. Cuma gak kuat tadi.” Aku salah tingkah dan beringsut meninggalkan tempat itu.

“Dasar anak muda jaman sekarang!” Sambung pemilik toko, membuat sedikit keributan diantara para pengunjung tokonya.

Salah tingkah dan malu kurasakan, bisa-bisanya aku lupa daratan. Kulihat Ika hanya tertunduk dalam, wajahnya merah padam menahan malu.

“Maaf ya barusan aku gak sadar tempat. Malu banget aku.” Tak sanggup aku menghadapi Ika jika kejadian barusan membuatnya marah.

“Gak apa-apa kok. Yang penting gak ada yang marahin lagi.” Ucapnya pelan, masih menunduk.

“Eeehhh??”


***

_seminggu kemudian
Suara berisik mesin pemotong, suara mesin jahit, aroma sol karet, dan suara para pekerja yang bercengkerama memenuhi ruangan. Aku yang masih mondar-mandir mengecek kesiapan produk yang akan segera dikirim. Yup, aku telah kembali bekerja dan aku telah sembuh sepenuhnya, jadi aku harus bekerja lebih giat lagi agar mendapat gaji lebih setelah 2 bulan cuti. Mulai sekarang aku harus lebih rajin menabung, agar suatu saat nanti aku telah siap untuk menikahi Ika. Telah kubulatkan tekad bahwa aku akan menikahinya. Perasaanku yang kian hari kian besar padanya, membuatku memantapkan keputusanku.

“Kak Eko, sudah siap belum?” Suara lembut yang berasal dari Yuni, anak pamanku atau lebih tepatnya sepupuku, membuyarkan lamunanku.

“Eh iya dek, sedikit lagi.” Jawabku bergegas menyortir sepatu yang telah terbungkus rapi.

“Papa bilang cepetan, biar gak keburu siang.” Pesan Yuni  lalu bergegas keluar.

Mobil boks pengantar sepatu yang dikemudikan sendiri oleh pamanku melaju kencang membelah kota, mengantar setiap pesanan menuju tuannya masing-masing.

“Kakimu gak kumat lagi kan Ko?” Tanya pamanku tiba-tiba dengan masih fokus ke jalanan.

“Sudah sembuh kok, man. Cuma masih belum bisa dibawa lari.” Jawabku.

“Ya jangan lari , nanti patah lagi terus cuti lagi, jadi aku yang harus gantiin, nambah kerjaanku.” Ucap Yuni menatapku. Dia berada di tengah antara aku dan paman, karena tubuhnya yang mungil jadi terasa lebih leluasa meskipun harus berisi 3 orang.

Sepanjang perjalanan diisi obrolan santai ala keluarga, bukan antara bos dan karyawan. Sesekali gelak tawa pamanku yang khas terdengar membahana setiap menceritakan hal-hal yang menurutnya lucu, aku hanya mengikuti saja bagaimana ceritanya. Beberapa kali aku harus pura-pura ingin tahu saat paman mencoba membuatku penasaran, agar gurauannya jadi terdengar sempurna, dan agar dia bisa mengeluarkan kembali tawanya yang khas itu. Dan Yuni yang mungkin telah bosan dengan cara pikir ayahnya, memilih untuk membisu sepanjang perjalanan. Hanya saat aku menceritakan awal mula pertemuanku dengan Ika, dia begitu antusias ingin mendengarnya dari awal sampai akhir. Dia merasa kagum pada Ika begitu kuceritakan tentangnya. Kini ekspresinya lebih seperti anak kecil yang selalu penasaran dan penuh tanya. Jadi harus kuceritakan sedikit demi sedikit, hingga sampai pada saat Ika menyatakan perasaannya. Tidak bisa kuceritakan kejadian memalukan di depan toko waktu itu, bisa-bisa itu membuatnya menertawaiku membuatku semakin malu.

Akhirnya mobil boks telah sampai di depan pabrik dengan muatan yang telah kosong, pamanku menghentikan lajunya dan bergegas turun. Aku turun duluan lalu disusul Yuni.

“Eh kak. Kalian pernah ciuman gak?” Tanya Yuni tiba-tiba dengan wajah lebih penasaran. Dia terus membuntutiku.

“Kasih tau gak ya?” Jawabku mengacuhkannya.

“Ayo dong kak, kasih tau.” Dia semakin penasaran.

“Kamu itu masih kecil, gak perlu tau.”

“Siapa yang masih kecil? Aku udah SMA tau? Lagian kan tinggal jawab pernah atau belum, lalu selesai.” Protesnya dengan nada kesal.

“Privasi.” Jawabku santai lalu berpaling darinya.

“Gubrakk!” Aku jatuh terjungkal ke belakang setelah Yuni menarik lengan bajuku, aku kehilangan keseimbangan. Tidak begitu sakit, mungkin hanya lenganku lecet akibat menopang jatuhku.

“Eh aduh maaf kak aku gak bermaksud.” Yuni panik sambil membantuku berdiri.

“Eko sayang.. Kamu kenapa? Kok bisa jatuh?” Tiba-tiba Ika berlari menghampiriku entah dari mana.

Dia mendorong Yuni agar menjauh, mungkin pikirnya Yuni hendak mencelakaiku.

“Gak apa-apa. Aku cuma  kehilangan keseimbangan. Kamu kok tiba-tiba ada disini?” Aku berusaha bangkit perlahan dibantu Ika.

“Aku nungguin kamu disini dari tadi. Aku bawain kamu makanan buat makan siang, tapi kamu malah bercanda sama cewek ini.” Ika menunjuk Yuni dan membuatnya sedikit kaget.

“Gak usah cemburu gitu lah, dia ini sepupuku. Anak dari pamanku yang punya pabrik sepatu ini.” Kucoba menjelaskan.

Kupinta Yuni agar memperkenalkan dirinya dan menjelaskan situasinya. Sejenak wajah Ika sedikit memerah saat Yuni menyinggung tentang ciuman.

“Sudah jelas kan?” Tanyaku memastikan, dan dijawab dengan anggukan Ika. “Kamu bawa nasi goreng kan?” Lanjutku.

“Kok tau?” 

“Dari aromanya tercium kesungguhan seorang wanita yang membuatnya demi pria yang disayanginya.” Tanganku telah bersiap menerima kotak bekal itu.

“Kata siapa ini buat kamu? Ini untukku sendiri kok.” Ucapnya berpaling.

“Udah siniin, cacing di perutku udah pada demo semua. Gak tahan dengan aroma nasi goreng cinta yang kamu bawa.” Masih berusaha meraih kotak bekal dari tangannya.

“Iiihhh.. malessin banget sih kamu? Ya udah nih.” Akhirnya dia luluh, dia sodorkan kotak bekal itu dengan menunduk sambil menahan senyum.

“Nah gitu dong dari tadi. Yuk ikut aku.” Kuraih tangannya.

Kupinta Yuni untuk meninggalkan kami berdua. Tak lupa kubisikkan padanya untuk menutup jendela samping pabrik, juga memintakan izin istirahat siang pada paman. Dia hanya mengangguk bergegas masuk pabrik.

Ika hanya manut begitu kuajak ke samping pabrik, disana terdapat beberapa bangku panjang tempat biasa para karyawan beristirahat. Sekarang mereka masih bekerja karena waktu istirahat masih 30 menit lagi.

“Sebelum makan, aku ingin tanya sesuatu.” Ucapku begitu kami duduk di bangku yang paling dekat dengan dinding. Ika hanya diam menungguku melanjutkan. “Aku tau jawabannya sudah jelas. Tapi aku ingin memastikannya lagi. Kamu serius denganku kan?” Kutatap matanya hingga tatapan kami bertemu.

Ika mengangguk pasti. Tiada keraguan pada anggukannya. Kugenggam kedua tangannya, terasa hangat.

“Mulai sekarang aku janji akan bekerja dengan sungguh-sungguh, menabung sedikit demi sedikit, demi masa depan kita. Suatu saat aku pasti akan menikah denganmu, aku janji. Jadi kamu juga harus berjanji untuk  selalu percaya pada perasaanku. Perasaanku padamu yang takkan tergantikan. Janji?” Ucapku masih menatapnya, kugenggam tangannya erat.

“Iya aku janji.” Ika mengangguk pasti dengan senyum merekah.

Perasaan ini kembali bergejolak. Perasaan  yang sama seperti waktu itu. Tanpa pikir panjang, kudekatkan wajahku padanya. Kubelai lembut pipinya yang imut. Dia mulai menutup matanya dan mengangkat sedikit wajahnya.

Cieeee..... melamar nih ceritanya?” Para karyawan tiba-tiba bersorak dan berdesakan mengintip keluar jendela.  Yuni berada di antara mereka. Entah sejak kapan mereka menguping pembicaraan kami, tapi mereka memilih waktu yang tepat untuk mengganggu.

“Wah.. romantis banget!” Teriak Yuni tak mau kalah.

Aku terlalu kaget hingga tak sanggup berkata apa-apa. Kaget bercampur malu kurasakan, yang terjadi untuk kedua kalinya.

Akhirnya aku dan Ika menikmati bekal makan siang bersama para karyawan yang lain. Sesekali gelak tawa bergemuruh saat mereka menyinggungku, membuat tawaku berbaur bersama tawa mereka. Ika pun ikut tertawa, gembira karena kebersamaan dan kekeluargaan yang tercipta siang itu.

Aku telah berjanji. Janji yang pasti akan kutepati. Karena aku akan berusaha yang terbaik demi menepati janji itu suatu saat nanti.



SELESAI..

No comments:

Post a Comment