Friday, March 22, 2019

Maaf yang tak Tersampaikan


Malam yang tak kunjung berakhir ia lalui dengan penuh penyesalan setelah apa yang baru menimpanya, wajahnya basah oleh air mata, pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan kesalahan yang telah ia perbuat. Ia duduk di tengah-tengah trotoar yang jalannya sepi oleh kendaraan, menyesali semua kesalahannya.

****

Siang yang terik, matahari seakan tak dapat diajak kompromi. Seorang anak muda bernama Romi berjalan di jalur Busway yang kebetulan tidak ada kendaraan yang lewat di situ. Ia memegang sebuah tas berukuran kecil berwarna cokelat yang bukan miliknya. Perasaan gembira terukir di wajahnya yang penuh dosa, karena aksinya kali ini berhasil, biasanya aksinya selalu digagalkan teman dekatnya yang selalu menasihatinya agar berhenti mencopet. Tapi ia tetap melakukannya dengan alasan untuk mengurangi beban keluarganya yang hidupnya pas-pasan.

Romi berhenti di sebuah warung kecil tempat jualan makanan kecil, dan duduk di sebuah bangku kecil, dan memesan minuman kecil untuk melepaskan dahaga setelah melakukan aksinya yang melelahkan. Selesai minum, ia  pergi ke tempat biasanya ia nongkrong yang jarang dilalui orang. Ia mengeluarkan isi tas hasil copetannya dan mengambil uang di dalamnya, beberapa lembar uang berwarna merah cerah bergambarkan Soekarno dan Hatta. Ia hitung uang itu dan mulai tertawa sendiri. Dan terlihat Toni temannya yang selalu menggagalkan aksinya berdiri di kejauhan semakin mendekat dan menghampiri Romi.

“Nyopet lagi, lu..?” tanya Toni heran setelah melihat beberapa uang di tangan Romi.
“Nggak... gua gak nyopet..”
“Terus... dari mana tuh duit?”
“Gua minta ama emak gua, gua kan punya ma’, gak kayak lu..” jawab Romi menyindir Toni yang ibunya sudah meninggal.

Toni melirik ke sekitar, mencari-cari sesuatu. Dan matanya menatap tajam pada sebuah tas yang ada di samping Romi.

“Nah.. itu tas siapa kalo lu emang gak nyopet?” tanya Toni selidik.
“Mungkin milik seseorang tertinggal” jawab Romi santai.
“Nah.. ini KTP ma’ lu, Rom” bentak Toni setelah membuka isi tasnya.
“Mungkin pemilik tas itu minjem KTP ma’ gua”
“Ini juga ada.....”
“Aaagrkh.... kenapa sih lu kok ikut ngurus-ngurus gua...?!, gua ini juga butuh duit untuk makan, bukan cuma ma’ gua yang butuh” teriak Romi saat Toni belum selesai menanyakan pemilik sebuah SIM.
“Hey.. gua kan cuma pengen lu itu berubah, jadilah Romi yang dulu, patuh pada perintah orang tua, tidak pernah membentak, dan selalu menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan. Lu ingat gak, waktu masih kecil waktu gua belajar naik sepeda menggunakan sepeda lu, dan gua jatuh. Lu kan yang gendong gua sampek ke rumah, dan lu dimarahi karena sepeda lu hilang karena ditinggal di tengah jalan..” sebuah nasihat Toni meluncur dengan tajam menusuk hati Romi.
“Aaaaaaargkhh..... diam lu... tiap hari lu ngomong gitu, sampek sakit kuping gua... karena lu, gua dimarahi ayah gua, sampek gua gak bisa jalan dua hari karena gua dipukul pakek sapu lidi ama ayah gua, dan kenapa lu gak datang ngejenguk gua..”

Tanpa sadar, Romi memegang sebuah batu besar dan Toni terkapar tak sadarkan diri mengeluarkan banyak darah. Terkejut Romi berlari secepat mungkin sebelum ada yang melihat, karena takut ditangkap dan dihajar oleh massa.

Romi mendengar kabar bahwa Toni sudah sadar setelah pingsan seminggu. Ingin sekali Romi meminta maaf pada Toni dan menyesali apa yang telah ia perbuat pada sahabat baiknya dari kecil. Ia mulai memikirkan hari yang tepat untuk pergi ke rumah sakit tanpa diketahui keluarga Toni.

Akhirnya Romi menemukan hari yang tepat untuk pergi menemui Toni dan meminta maaf, yaitu hari Sabtu sore. Toni hanya memiliki satu keluarga, hanya ayahnya. Karena ayah Toni masih bekerja saat sore dan pulang malam. Kesempatan itu Romi gunakan dengan segera untuk menemui Toni.

Sesampainya di rumah sakit, Romi terkejut karena melihat ayah Toni yang tidak pergi bekerja dan mengeluarkan banyak air mata, hingga bajunya kuyup oleh air mata. Romi mencoba untuk menguping percakapan antara ayah Toni dengan seorang Dokter yang menangani Toni. Ternyata Toni meninggal karena gegar otak yang sangat parah, karena benturan benda keras di kepala.

****

Malam yang tak kunjung berakhir Romi lalui dengan penuh penyesalan setelah apa yang baru menimpanya, wajahnya basah oleh air mata, pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan kesalahan yang telah ia perbuat. Ia duduk di tengah-tengah trotoar yang jalannya sepi oleh kendaraan, menyesali semua kesalahannya. Seorang teman yang selalu peduli padanya, kini meninggalkannya untuk selamanya karena perbuatannya sendiri. Tak habis air matanya ia keluarkan atas penyesalannya pada apa yang diperbuatnya.

Romi berjalan menyusuri rel kereta api yang sepi dan gelap. Tiba-tiba dari belakangnya terdengar jeritan yang sangat keras, dan cahaya yang sangat terang. Romi terus berjalan tanpa menyadari kereta api sudah mendekat di belakangnya. Ia berbalik arah dan melihat bayangan Toni yang melambai-lambai seakan mengingatkan sesuatu, ia membalas lambaiannya dan kemudian kereta api menghantam tubuhnya dari arah bayangan Toni, dan tubuh Romi hilang entah kemana.

SEKIAN..


No comments:

Post a Comment