Friday, March 22, 2019

Senyum Terakhir

                 Di pagi yang cerah, aku duduk di sebuah kursi taman yang ada di depan rumahku. Pemandangan yang begitu hijau bercampur warna-warna dari bunga-bunga yang elok, terhampar di hadapanku. Burung-burung berkicauan saling berkomunikasi satu sama lainnya, hinggap di ranting-ranting pohon untuk mencari makan.
            Aku menunggu seseorang, untuk menyampaikan sesuatu yang belum sempat tersampaikan selama tiga tahun. Seseorang yang ingin kujadikan purnama yang selalu menghiasi malamku, dengan sinar yang menyejukkan jiwa. Hari-harinya diisi dengan sejuta senyum yang membuat hati para orang-orang yang melihatnya bergetar tak karuan. Kesempurnaan paras wajahnya, tidak akan bisa di gambarkan dengan apapun.
            Aku menunggunya sambil membaca buku, buku yang di hadiahkan olehnya bulan lalu, saat ulang tahunku yang ke 18, buku dengan judul “SURAT-SURAT CINTA”, dengan tebal 336 halaman. Aku sudah membacanya beberapa kali sampai aku hafal dengan jalannya cerita yang ada di buku itu. Di dalamnya menceritakan tentang ketangguhan seorang wanita, dalam menghadapi cobaan hidup. Wanita itu menderita penyakit jantung. Wanita itu mencintai lelaki yang juga mencintainya. Tapi dia tidak tahu, apakah lelaki itu mencintainya atau tidak. Sampai takdir mempertemukan mereka, di hadapan sang pencipta. Wanita itu meninggal karena penyakit jantungnya, sedangkan lelaki itu kecelakaan, setelah mendengar bahwa wanita itu sakit, lelaki itu langsung ngebut dengan sepeda motornya. Di tengah perjalanan, lelaki itu menabrak sebuah pohon setelah berusaha menghindar dari truk dengan pengemudi yang ngantuk, hingga tewas. Mungkin aku akan berpisah dengan purnamaku, seperti yang ada di cerita itu.
            Tidak terasa, 336 halaman selesai kubaca. Entah berapa lama aku duduk disini. Saat kulihat arlojiku menunjukkan pukul 11.00, ternyata aku sudah 3 jam  berada disini. Semakin lama aku menunggu, sampai perutku terasa perih karena tidak makan dari pagi. Dan ibu memanggilku untuk sarapan. Aku menolaknya demi menemui seseorang. Kemudian rasa kantukku menyerang dengan sangat dahsyat. Saat aku hampir terlelap, tiba-tiba seseorang yang sepertinya tidak kukenal menghampiriku dengan tergesa-gesa.
            “Vita,.. temanmu...” katanya.
            “Ada apa dengannya? Dan siapa kau ini?” tanyaku.
            “Dia terkena kangker hati, dan sekarang dia tidak sadarkan diri di rumah sakit, aku kakaknya, sekarang kau ikut aku” jelasnya.
            Semua badanku kaku, sulit untuk digerakkan, karena berita itu. Vita, dialah purnama yang kutunggu, tapi mengapa dia harus menderita seperti ini?, padahal dia selalu tersenyum, yang sepertinya dia sehat-sehat saja. Perlahan aku naik ke boncengan sepeda motor milik kakaknya, seakan tak percaya.
            Sesampainya di rumah sakit, aku langsung bergegas menuju kamar nomor 336, persis dengan jumlah halaman buku yang di hadiahkan Vita padaku. Perlahan aku masuk ke dalam, dan kulihat Vita terbaring lemas di ruang UGD. Kucoba untuk mendekatinya, dia tidak sadarkan diri. Kuraih tangannya, terasa dingin, tapi lama kelamaan semakin hangat. Baru kusadari kalau tangannya memegang tanganku, kuusap air mataku dan kucoba untuk mengatakan beberapa patah kata, tapi aku tidak bisa, karena dia tersenyum padaku. Lama-lama senyumnya memudar, seakan terjadi sesuatu padanya.
            Tiba-tiba seseorang membangunkanku, seorang wanita cantik berkerudung sudah duduk di sampingku, ternyata dia adalah seseorang yang kutunggu.
            “Ada apa?” tanyanya. Aku tetap diam, sambil mengucek mataku seakan tak percaya.
            “Ada perlu apa kau memanggilku kesini??” tanyanya lagi. Aku tetap diam. Sepertinya dia semakin jengkel.
            Akhirnya kujelaskan tujuanku memanggilnya kesini. Bahwa aku akan pergi merantau selama beberapa tahun untuk kuliah ke ujung timur Indonesia, tepatnya ke Papua. Dan aku akan meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama. Dia menunduk, sepertinya dia kurang setuju, karena kulihat air mata mengalir dari pelupuk matanya. Dan kujelaskan bahwa aku sudah mendapat persetujuan dari orang tuaku, untuk melamarnya selesai kuliah. Dan kumohonkan untuk yang terakhir kalinya padanya, agar dia menjadi orang pertama setelah orang tuaku yang mengantar dan menjemputku di bandara.
            Saat tiba keberangkatanku ke bandara, kutanya lagi pada ayahku, apakah Vita sudah diajak. Saat aku keluar, seakan tak percaya seorang wanita cantik berdiri di hadapan pintu. Dengan gaun warna pink dan kerudung warna pink yang sangat menawan. Saat kutanya apa dia benar-benar Vita atau bukan, dia hanya menunduk seraya tersenyum.
            Sewaktu tiba di bandara, kuangkat semua barang-barangku dari mobil. Kucium tangan kedua orang tuaku, dan Vita juga mencium tanganku. Aku bergegas seraya melambaikan tangan ke arah orang tuaku atas kepergianku ke tempat yang cukup jauh.
***
            Empat tahun berlalu sejak aku berpisah dengan orang tuaku dan Vita, kini tiba saatnya aku pulang. Kupesankan lagi pada ayahku untuk membawa Vita menjemputku di bandara. Empat tahun kubayangkan bagaimana perasaan Vita saat kutinggal pergi.
            Di perjalanan, kubayangkan betapa senangnya aku berjumpa kembali dengan orang tuaku dan teman-temanku di rumah, terutama Vita. Empat jam perjalanan tidak terasa, kini landasan sudah terlihat.
            Ketika pesawat akan mendarat, tiba-tiba salah satu mesin mati dan membuat pesawat tidak seimbang. Dan akhirnya pesawat jatuh tepat di landasan satelah berputar beberapa kali. Dan semuanya gelap.
            Saat kubuka mataku, kulihat orang tuaku menangis sambil mengikutiku yang dibawa dengan divan dorong. Kucari Vita di kanan-kiriku, dia tidak ada. Saat kulihat ujung kakiku, terlihat dia dengan gaun yang sama saat dia mengantarku ke bandara, tapi wajahnya basah karena air mata. Samar-samar kulihat sebuah pintu dengan nomor 336, sama dengan yang ada dalam mimpiku. Dan semuanya kembali gelap.
            Dan kubuka lagi mataku, terasa ada yang memegang tanganku, tangannya halus, dan dengan lembut kuraih tangan itu, Vita pemilik tangan itu. Kuusap air matanya, dan aku berpesan padanya agar selalu tabah menjalani hidup, dan selalu bersabar saat ada masalah, karena semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Dan kukatakan lagi padanya, jika kita memang ditakdirkan untuk berpisah, kuingin kau tahu, bahwa pertemuan kita merupakan awal dari kita berpisah.. Akhirnya kututup mataku untuk yang terakhir kalinya.
SEKIAN..

No comments:

Post a Comment