Monday, September 18, 2017

Cerita Ika

(seri kedua dari “Spekulasi dan Sangka”)


Asap mengepul di ujung tempat dapur berada, bartender berlalu lalang menyapa setiap pengunjung yang datang, aroma khas kopi tercium dari arah sekelilingku. Kafe, tempat termewah yang pernah kudatangi.

Setelah sering berkomunikasi dan bertukar cerita, malam ini aku dan Ika membuat janji untuk bertemu di sebuah kafe di Surabaya. Ika yang menentukan tempatnya, dan kini dia terlambat dari waktu pertemuan yang ditentukan. Aku telah lebih dahulu memilih meja untuk kita berdua dan mengiriminya pesan begitu meja kudapat. Sesekali kulihat arlojiku yang semakin menjauh dari waktu pertemuan, baru sepuluh menit tapi aku merasa gugup seakan telah menunggu berjam-jam.

Aku melambai pada seorang wanita dengan cardigan biru dan topi kupluk yang melangkah masuk dengan celingak-celinguk, itu dia akhirnya datang. Kini dia melangkah ke arahku sambil tersenyum simpul, lalu menyapa dan menyalamiku. Dia memakai pakaian kasual dan santai, tapi terlihat sempurna di tubuhnya. Kupersilahkan dia duduk di hadapanku dan membiarkan bartender mencatat pesanan kami.

“Kopi susu panas. ” Pesananku dicatat.

“Coffee ice with latte.” Pesanan Ika juga dicatat.

Dari pesanan kami terlihat jelas siapa yang sering nongkrong di tempat seperti ini. Kumulai dengan obrolan sederhana untuk mencairkan suasana, hal yang seharusnya dilakukan saat pertemuan pertama. Lalu dilanjutkan dengan menyinggung penampilan masing-masing.

“Kamu itu kelihatan banget cantiknya kalau pakai baju itu.” Kulontarkan pujianku.

“Kamu bisa aja. Aku cuman gak mau disebut ‘tanpa memikirkan apapun’ lagi oleh seseorang yang punya indra ketujuh.” Dia berusaha menghindar. Aku tertawa.

“Kan aku udah pernah bilang, aku gak punya indra ketujuh. Sebenarnya aku cuman tahu caranya mengkritik seseorang dari memperhatikan penampilannya.” Aku menjelaskan.

“Iya aku tahu kok.” Jawabnya santai.

Bartender dengan rambut cepak membawa nampan dan meletakkan pesanan kami di meja.

“Silakan pesanannya. Coffee latte with ice untuk mbaknya, dan kopi susu panas untuk masnya.”

“Terima kasih.” Ucapku dan Ika hampir bersamaan.

Lalu obrolan pun dilanjutkan sambil menikmati kopi masing-masing. Sesekali kuperhatikan Ika mengaduk kopinya dengan sedotan, lalu meminumnya perlahan.

“Eh, ngomong-ngomong katanya kamu mau ceritain sesuatu? Apa?” tanyaku penasaran mengingat dia pernah menyinggungnya sebelumnya.

“Kamu dengerin ya. Soalnya ceritanya panjang banget. Dimulai saat aku berkenalan dengan seorang cowok di facebook, namanya Rifki. Orangnya ganteng, ramah, dan baik hati pula. Awalnya dia menyapaku, lalu aku ladeni, akhirnya kita kenalan dan seterusnya. Setiap hari kita chattingan sampai curhat-curhatan, dia juga bilang suka padaku dan ingin bertemu denganku suatu saat. Dia merantau di Ambon udah lama banget, dan ada rencana mau mudik dalam waktu dekat. Itu udah terjadi sejak setahun lalu, ya gitu kita selalu chattingan. Saling komentar di postingan masing-masing, sampai saling tukar foto, saling tukar nomor handphone. Jadi hampir setiap malam dia meneleponku, dia bilang suaraku bagus. Jujur aku jadi suka padanya. Lalu akhirnya aku tahu dia akan mudik, jadi aku menagih janjinya dan ingin menjemputnya di bandara. Dia memberitahuku jadwal dia tiba hanya sejam sebelum jadwalnya. Dan seperti yang kamu tahu, aku langsung buru-buru pakai baju seadanya, bawa uang yang ada di kantong yang hanya cukup untuk ongkos naik taksi ke bandara tanpa memikirkan bagaimana pulangnya, yang penting aku ingin segera bertemu dengannya.

Di bandara aku menunggu sambil mencoba menghubunginya dan berpesan padanya bahwa aku menunggunya, tapi sejak kabar terakhir dia memberitahuku jadwal kedatangannya dia tidak lagi menghubungiku ataupun mengaktifkan ponselnya. Aku jadi gelisah. Lalu di tengah kegelisahanku, aku memperhatikan seorang cowok sedang mencoba merayu beberapa cewek. Dia benar-benar payah dalam hal itu, yang dia lontarkan hanya rayuan yang sama. Kurasa akhirnya dia menyerah dilihat dari wajahnya yang terlihat lesu. Lalu dia mulai memperhatikanku, kuduga dia akan segera menggodaku, dan benar saja dia mendatangiku dan mengajakku basa-basi. Awalnya aku cuek padanya, tapi kucoba membuka hati siapa tahu dia bisa menghiburku selagi aku menunggu Rifki. Dia lumayan asyik, dan sedikit cerewet sih. Namanya Eko.” Ika melirikku sambil menahan senyum. Aku hanya tersenyum sambil menunggu kelanjutan ceritanya.

“Lalu kuceritakan bahwa aku punya masalah, sepertinya dia tidak terlalu ingin membantu. Gak lama setelah itu kakaknya datang, dia malah langsung pergi. Jadi kupikir dia memang tidak punya niat baik. Setelah beberapa kali mencoba menelepon Rifki lagi, dia kembali bersama kakaknya dan menawarkan bantuan, aku senang banget waktu itu. Dalam pandanganku, dia berbeda sekali saat bersama kakaknya. Dia seperti seorang adik yang beranjak dewasa daripada perayu cewek. Jadi kuputuskan untuk mencoba mengenalnya lebih jauh. Dan begitulah, kini dia berada di hadapanku dengan senyumnya.” Ika menutup cerita.

“Lalu, bagaimana perasaanmu setelah tahu Rifki yang sebenarnya?” tanyaku.

“Kecewa lah. Di fotonya kelihatan ganteng, aslinya malah gak ganteng-ganteng amat. Apalagi setelah tahu dia udah punya anak-istri, aku kecewa pake banget. Pokoknya gak mau lagi kenal-kenalan di dunia maya, mending cari yang nyata aja.” Jawabnya dengan nada kesal.

Waktu kita lewatkan dengan saling bertukar cerita dan pengalaman. Ternyata dia telah mengalami beberapa hubungan melalui dunia maya, bahkan sempat pacaran yang berawal dari kenalan di facebook. Aku hanya membayangkan, bagaimana caranya dia menumbuhkan perasaan pada seseorang yang tidak pernah dilihatnya secara langsung.

Tanpa terasa, malam kian larut. Ika terlihat lesu dengan mata yang sayu. Aku menawarkan untuk mengantarnya pulang, dia tidak menolak. Lalu dengan senang hati aku mengantarnya pulang setelah membayar di kasir.

Angin malam yang menerpa membuat Ika harus memegangi topi kupluknya saat motorku melaju agar tidak terlepas. Kuhentikan motorku untuk menawarkan helmku agar dipakainya, dia memakainya tanpa ekspresi mungkin karena kantuknya. Lalu kulanjutkan perjalanan.

“Aku meluk ya, soalnya ngantuk banget.” Ucap Ika lirih sambil tangannya melingkari pinggangku.

Aku hanya membiarkannya, membiarkan tubuhnya menghangatkanku untuk mengusir dinginnya terpaan angin. Kepalanya telah bersandar ke punggungku. Masih beberapa kilometer lagi untuk sampai di rumah Ika dan malam sudah selarut ini, bagaimana aku pulang? Itulah yang terbayang dalam benakku.

Diterpa angin malam tanpa helm membuat mataku berair, sesekali kupicingkan mata untuk menghindarinya. Kuusap mataku saat air mata mulai menggenang, beberapa kali kukedip-kedipkan membuatku sesaat kehilangan fokus ke jalan. Hingga terlambat kusadari sebuah mobil yang baru keluar dari gang dengan terburu-buru, membuatku tidak sempat menghindar dan motorku menabrak bagian sampingnya. Tubuhku menghantam pintu mobil dengan keras akibat kencangnya laju motorku juga tubuh Ika yang masih memelukku dengan erat. Aku tersungkur, telingaku berdenging, darah mengucur menutupi pandanganku. Terakhir kulihat sopir mobil yang kutabrak berteriak kalut sambil meminta bantuan orang-orang sekitar, dan orang-orang mulai berkerumun.

***
_dua minggu kemudian

Aku terbangun dari tidur, akibat suara berisik di luar. Samar-samar aku mengenali suara itu, Ika. Terakhir kudengar dia hanya mengalami patah tangan saat aku baru tersadar seminggu lalu. Aku sedikit lega dia tidak terluka serius gara-gara aku.

Pintu kamarku terbuka, ibuku yang pertama kali masuk. Lalu disusul Ika dan orang tuanya. Ika langsung menghampiriku.

“Hai.. apa kabar?” ucapku sambil tersenyum saat melihatnya terdiam beberapa saat.

“Kamu itu ya, udah kepala diperban, tiduran di kasur, kaki masih pakai gips. Kamu gak berhak tanya begitu tahu?” bentaknya dengan mata berair. 

“Aku kan nanya. Tanganmu kan juga di gips, digantung pula.”

“Mending tanganku yang digantung, daripada perasaanku yang digantung.” Ucapnya sambil menahan senyum.

“Jiaahh.. malah curhat.” 

Aku dan Ika tertawa, orang tua Ika hanya tersenyum menanggapinya, mereka masih mengobrol dengan ibuku sambil sesekali memperhatikanku. Aku tidak begitu mengenal mereka, tapi mungkin Ika telah bercerita tentangku pada mereka.

“Waktu itu, kamu kok kasih helmmu padaku sih? Coba kamu tetap pakai helm, kepalamu gak mungkin diperban kayak gini.” tanya Ika sedikit lirih.

“Kasihan aja kamu sampai harus pegangin kuplukmu, kulihat juga kamu ngantuk banget. Lagian itu udah kehendak takdir.” Jawabku masih menatapnya.

Orang tua Ika meninggalkan kamarku bersama ibuku setelah mengucapkan beberapa kata, Ika belum melepas tatapannya dariku. Kini hanya kami berdua, di dalam kamarku yang dipenuhi aroma obat-obatan dan perban.

“Melihatmu begini gara-gara aku, aku jadi sayang sama kamu.” Ucapnya lirih dengan nada menurun, lalu menyandarkan kepalanya ke perutku. Terasa sesak sih, tapi kubiarkan saja.

Aku jadi berpikir, apakah kata-katanya serius? Atau sesingkat itukah dia menumbuhkan perasaannya padaku? Begitu mudahnya dia jatuh hati, seakan sebuah perasaan baginya seperti kecambah yang mudah tumbuh lalu menghilang begitu saja. Itu membuatku sedikit bingung bagaimana menanggapinya, tapi dia imut sih.

“Masa’ cewek yang nyatain perasaan? Gak seru lah.” Protesku.

“Biarin, daripada keduluan.”

“Keduluan? Sama siapa?” tanyaku penasaran.

“Tuh di depan, yang matanya bengkak kayak abis nangis lama. Nangisin kamu kan!” Jawabnya cemberut.

“Haha.. itu sepupuku. Kucingnya mati ditabrak motor kemarin. Nangisnya semalaman. Kamu itu aneh, masa’ iri sama sesuatu yang belum jelas.” Aku memegang kepalanya, kini kita bertatapan. “yakin kamu serius?” sambungku memastikan.

Dia hanya mengangguk pelan.

“Yakin kamu mau sama aku yang dipenuhi perban gini?” tanyaku lagi.

“Enggaklah, aku lebih suka kamu yang sehat. Makanya cepat sembuh ya.” Jawabnya.

Lalu cupp.. Ika mencium keningku, membuatku beku beberapa saat.

“Aku akan menunggu sampai kamu sembuh.” Ucapnya sambil memegang tanganku.

Aku menatapnya lama, masih tidak percaya yang baru saja terjadi. Aku harus cepat sembuh.



Tuesday, September 12, 2017

Janji


(Seri terakhir dari 'Spekulasi dan Sangka' dan 'Cerita Ika')


Dua bulan berlalu sejak kecelakaan menimpaku, kini aku telah pulih sepenuhnya, meski masih dibantu tongkat untuk berjalan karena tulang pahaku yang belum tersambung sempurna. Walaupun begitu aku sangat bahagia, bahagia karena selalu ada tongkat hidup yang bersedia menopangku kemana saja. Seseorang yang sangat spesial bagiku, dan aku pun spesial baginya. Ika Nurlaila, yang kini menjadi kekasihku sejak dia dengan berani mengungkapkan perasaan sayangnya padaku kepada orang tuaku. Dan bersedia menemani dan merawatku sampai sembuh total.

“Jalannya pelan-pelan dong sayang, biar cepat sembuh.” Ucapnya lembut penuh perhatian, dengan tangannya melingkari lenganku.

“Gak apa-apa biar kakiku terlatih dan terbiasa.” Ucapku sambil mempercepat langkahku.

“Tapi kan pelan-pelan juga bisa.” Protesnya.

“Iya-iya. Gak usah manyun gitu dong, nanti manisnya hilang.” Sambil kubelai lembut pipinya, membuat senyumnya kembali merekah.

“Iiihh.. kamu gombal terus. Jalan sendiri aja.” Ucapnya lalu melepas rangkulannya dari lenganku.

“Ngambek terus.”

Langkah kaki ini semakin ringan seiring bergantinya hari. Semangatku untuk sembuh selalu terpompa berkat dukungan tanpa henti yang Ika berikan. Memang dia sesekali bosan denganku karena aku yang selalu merayunya, tapi itu tidak pernah bertahan lama. Begitulah hubungan, sama halnya dengan roda kehidupan yang kadang di atas dan kadang d bawah, juga pasti akan kembali lagi seperti semula.

Ika selalu siap kapanpun aku ingin jalan-jalan keluar, karena aku telah hafal jadwalnya sibuk dengan kuliahnya. Dia sempat cuti kuliah selama 3 minggu akibat kecelakaan waktu itu, jadi dia harus ngebut mengejar ketertinggalannya. Sedangkan aku harus cuti kerja sampai benar-benar sembuh, karena bosku yang baik hati tidak tega untuk melihat karyawannya yang bekerja mengandalkan kakinya harus bekerja dengan kondisi pincang. Aku bekerja di pabrik sepatu milik pamanku, dan tugasku adalah mondar-mandir mencatat setiap detail hasil produk yang dikerjakan karyawan lain, lalu mendistribusikannya ke berbagai tempat sesuai pesanan.

“Duduk dulu ya. Capek aku.” Aku duduk di depan sebuah toko saat kakiku mulai terasa letih. Ika masih bersamaku dengan tatapannya yang penuh perhatian.

“Sayang.. terimakasih karena kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku.” Ucapku sambil menggenggam tangannya.

“Seharusnya aku yang berterimakasih. Berkat kamu aku jadi tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dengan begitu dalam, bahkan aku masih ingin untuk masuk lebih dalam lagi. Berbeda sekali dengan perasaanku sebelumnya yang kusebut cinta, karena kali ini aku benar-benar jatuh cinta.” Nadanya sungguh-sungguh dengan senyum manisnya kembali merekah.

Aku tidak bisa berkata apa-apa, perasaanku bergejolak tak bisa kutahan, sampai ingin sekali aku menciumnya. Kudekati wajahnya, dia mulai menutup mata.

“Woy! Pacaran jangan di depan toko gue!” Bentak pemilik toko yang tiba-tiba keluar untuk protes dengan nada tinggi, urat lehernya menyembul keluar.

“Maaf Om kami gak bermaksud. Cuma gak kuat tadi.” Aku salah tingkah dan beringsut meninggalkan tempat itu.

“Dasar anak muda jaman sekarang!” Sambung pemilik toko, membuat sedikit keributan diantara para pengunjung tokonya.

Salah tingkah dan malu kurasakan, bisa-bisanya aku lupa daratan. Kulihat Ika hanya tertunduk dalam, wajahnya merah padam menahan malu.

“Maaf ya barusan aku gak sadar tempat. Malu banget aku.” Tak sanggup aku menghadapi Ika jika kejadian barusan membuatnya marah.

“Gak apa-apa kok. Yang penting gak ada yang marahin lagi.” Ucapnya pelan, masih menunduk.

“Eeehhh??”


***

_seminggu kemudian
Suara berisik mesin pemotong, suara mesin jahit, aroma sol karet, dan suara para pekerja yang bercengkerama memenuhi ruangan. Aku yang masih mondar-mandir mengecek kesiapan produk yang akan segera dikirim. Yup, aku telah kembali bekerja dan aku telah sembuh sepenuhnya, jadi aku harus bekerja lebih giat lagi agar mendapat gaji lebih setelah 2 bulan cuti. Mulai sekarang aku harus lebih rajin menabung, agar suatu saat nanti aku telah siap untuk menikahi Ika. Telah kubulatkan tekad bahwa aku akan menikahinya. Perasaanku yang kian hari kian besar padanya, membuatku memantapkan keputusanku.

“Kak Eko, sudah siap belum?” Suara lembut yang berasal dari Yuni, anak pamanku atau lebih tepatnya sepupuku, membuyarkan lamunanku.

“Eh iya dek, sedikit lagi.” Jawabku bergegas menyortir sepatu yang telah terbungkus rapi.

“Papa bilang cepetan, biar gak keburu siang.” Pesan Yuni  lalu bergegas keluar.

Mobil boks pengantar sepatu yang dikemudikan sendiri oleh pamanku melaju kencang membelah kota, mengantar setiap pesanan menuju tuannya masing-masing.

“Kakimu gak kumat lagi kan Ko?” Tanya pamanku tiba-tiba dengan masih fokus ke jalanan.

“Sudah sembuh kok, man. Cuma masih belum bisa dibawa lari.” Jawabku.

“Ya jangan lari , nanti patah lagi terus cuti lagi, jadi aku yang harus gantiin, nambah kerjaanku.” Ucap Yuni menatapku. Dia berada di tengah antara aku dan paman, karena tubuhnya yang mungil jadi terasa lebih leluasa meskipun harus berisi 3 orang.

Sepanjang perjalanan diisi obrolan santai ala keluarga, bukan antara bos dan karyawan. Sesekali gelak tawa pamanku yang khas terdengar membahana setiap menceritakan hal-hal yang menurutnya lucu, aku hanya mengikuti saja bagaimana ceritanya. Beberapa kali aku harus pura-pura ingin tahu saat paman mencoba membuatku penasaran, agar gurauannya jadi terdengar sempurna, dan agar dia bisa mengeluarkan kembali tawanya yang khas itu. Dan Yuni yang mungkin telah bosan dengan cara pikir ayahnya, memilih untuk membisu sepanjang perjalanan. Hanya saat aku menceritakan awal mula pertemuanku dengan Ika, dia begitu antusias ingin mendengarnya dari awal sampai akhir. Dia merasa kagum pada Ika begitu kuceritakan tentangnya. Kini ekspresinya lebih seperti anak kecil yang selalu penasaran dan penuh tanya. Jadi harus kuceritakan sedikit demi sedikit, hingga sampai pada saat Ika menyatakan perasaannya. Tidak bisa kuceritakan kejadian memalukan di depan toko waktu itu, bisa-bisa itu membuatnya menertawaiku membuatku semakin malu.

Akhirnya mobil boks telah sampai di depan pabrik dengan muatan yang telah kosong, pamanku menghentikan lajunya dan bergegas turun. Aku turun duluan lalu disusul Yuni.

“Eh kak. Kalian pernah ciuman gak?” Tanya Yuni tiba-tiba dengan wajah lebih penasaran. Dia terus membuntutiku.

“Kasih tau gak ya?” Jawabku mengacuhkannya.

“Ayo dong kak, kasih tau.” Dia semakin penasaran.

“Kamu itu masih kecil, gak perlu tau.”

“Siapa yang masih kecil? Aku udah SMA tau? Lagian kan tinggal jawab pernah atau belum, lalu selesai.” Protesnya dengan nada kesal.

“Privasi.” Jawabku santai lalu berpaling darinya.

“Gubrakk!” Aku jatuh terjungkal ke belakang setelah Yuni menarik lengan bajuku, aku kehilangan keseimbangan. Tidak begitu sakit, mungkin hanya lenganku lecet akibat menopang jatuhku.

“Eh aduh maaf kak aku gak bermaksud.” Yuni panik sambil membantuku berdiri.

“Eko sayang.. Kamu kenapa? Kok bisa jatuh?” Tiba-tiba Ika berlari menghampiriku entah dari mana.

Dia mendorong Yuni agar menjauh, mungkin pikirnya Yuni hendak mencelakaiku.

“Gak apa-apa. Aku cuma  kehilangan keseimbangan. Kamu kok tiba-tiba ada disini?” Aku berusaha bangkit perlahan dibantu Ika.

“Aku nungguin kamu disini dari tadi. Aku bawain kamu makanan buat makan siang, tapi kamu malah bercanda sama cewek ini.” Ika menunjuk Yuni dan membuatnya sedikit kaget.

“Gak usah cemburu gitu lah, dia ini sepupuku. Anak dari pamanku yang punya pabrik sepatu ini.” Kucoba menjelaskan.

Kupinta Yuni agar memperkenalkan dirinya dan menjelaskan situasinya. Sejenak wajah Ika sedikit memerah saat Yuni menyinggung tentang ciuman.

“Sudah jelas kan?” Tanyaku memastikan, dan dijawab dengan anggukan Ika. “Kamu bawa nasi goreng kan?” Lanjutku.

“Kok tau?” 

“Dari aromanya tercium kesungguhan seorang wanita yang membuatnya demi pria yang disayanginya.” Tanganku telah bersiap menerima kotak bekal itu.

“Kata siapa ini buat kamu? Ini untukku sendiri kok.” Ucapnya berpaling.

“Udah siniin, cacing di perutku udah pada demo semua. Gak tahan dengan aroma nasi goreng cinta yang kamu bawa.” Masih berusaha meraih kotak bekal dari tangannya.

“Iiihhh.. malessin banget sih kamu? Ya udah nih.” Akhirnya dia luluh, dia sodorkan kotak bekal itu dengan menunduk sambil menahan senyum.

“Nah gitu dong dari tadi. Yuk ikut aku.” Kuraih tangannya.

Kupinta Yuni untuk meninggalkan kami berdua. Tak lupa kubisikkan padanya untuk menutup jendela samping pabrik, juga memintakan izin istirahat siang pada paman. Dia hanya mengangguk bergegas masuk pabrik.

Ika hanya manut begitu kuajak ke samping pabrik, disana terdapat beberapa bangku panjang tempat biasa para karyawan beristirahat. Sekarang mereka masih bekerja karena waktu istirahat masih 30 menit lagi.

“Sebelum makan, aku ingin tanya sesuatu.” Ucapku begitu kami duduk di bangku yang paling dekat dengan dinding. Ika hanya diam menungguku melanjutkan. “Aku tau jawabannya sudah jelas. Tapi aku ingin memastikannya lagi. Kamu serius denganku kan?” Kutatap matanya hingga tatapan kami bertemu.

Ika mengangguk pasti. Tiada keraguan pada anggukannya. Kugenggam kedua tangannya, terasa hangat.

“Mulai sekarang aku janji akan bekerja dengan sungguh-sungguh, menabung sedikit demi sedikit, demi masa depan kita. Suatu saat aku pasti akan menikah denganmu, aku janji. Jadi kamu juga harus berjanji untuk  selalu percaya pada perasaanku. Perasaanku padamu yang takkan tergantikan. Janji?” Ucapku masih menatapnya, kugenggam tangannya erat.

“Iya aku janji.” Ika mengangguk pasti dengan senyum merekah.

Perasaan ini kembali bergejolak. Perasaan  yang sama seperti waktu itu. Tanpa pikir panjang, kudekatkan wajahku padanya. Kubelai lembut pipinya yang imut. Dia mulai menutup matanya dan mengangkat sedikit wajahnya.

Cieeee..... melamar nih ceritanya?” Para karyawan tiba-tiba bersorak dan berdesakan mengintip keluar jendela.  Yuni berada di antara mereka. Entah sejak kapan mereka menguping pembicaraan kami, tapi mereka memilih waktu yang tepat untuk mengganggu.

“Wah.. romantis banget!” Teriak Yuni tak mau kalah.

Aku terlalu kaget hingga tak sanggup berkata apa-apa. Kaget bercampur malu kurasakan, yang terjadi untuk kedua kalinya.

Akhirnya aku dan Ika menikmati bekal makan siang bersama para karyawan yang lain. Sesekali gelak tawa bergemuruh saat mereka menyinggungku, membuat tawaku berbaur bersama tawa mereka. Ika pun ikut tertawa, gembira karena kebersamaan dan kekeluargaan yang tercipta siang itu.

Aku telah berjanji. Janji yang pasti akan kutepati. Karena aku akan berusaha yang terbaik demi menepati janji itu suatu saat nanti.



SELESAI..