Tuesday, December 31, 2013

Inikah Cinta? Inilah Cinta!

        Pagi di hari minggu yang tak terlalu cerah. Embun masih menyita ruang-ruang di dedaunan yang berbiaskan cahaya mentari pagi. Burung masih senantiasa menari-nari di ranting-ranting pohon mangga. Berjingkrak lincah saling sahut dengan lainnya. Kuhirup udara pagi dengan malas, kubusungkan dada, kemudian menguap selebar-lebarnya.

        Seperti biasa, hari ini dari pagi sampai malam hanya akan diisi dengan kata 'nganggur'. Maklum, selain aku termasuk pelajar yang tidak rajin, aku juga bukan pekerja keras. Mungkin hari ini hanya akan kuisi dengan nonton televisi, atau kalau bisa juga main game.

        Tanpa diduga, ibuku memintaku untuk pergi ke kota untuk belanja sedikit keperluan dapur. Tepatnya ke salah satu minimarket di kota Bangkalan. Dengan sedikit terpaksa dan sedikit malas-malasan langsung kutarik sepeda motor kakakku secepat sepeda itu bisa, hanya 80 kilometer perjam, maklum sepeda agak tua.

        Setelah beberapa menit, sampai juga di tujuan, sebuah minimarket di tengah-tengah kotaku yang tidak terlalu maju. Aku langsung disambut oleh tukang parkir yang tidak bertanggung jawab, dia menyambut siapapun yang datang, sedangkan yang pergi hanya diminta ongkos parkir dan dibiarkan begitu saja.

        Aku melangkah masuk minimarket dan disambut oleh hembusan dingin dari ac ruangan yang jumlahnya lebih dari satu, membuat ruangan menjadi sedingin kota Malang, mungkin. Ruangan itu yang dipenuhi oleh sesak-sesak segala macam bentuk rak-rak berisi bermacam benda dan makanan, semua yang manusia perlukan untuk memenuhi pangannya ada disini.

        Aku mencari beberapa makanan yang tertulis di catatan belanja, di rak makanan tentunya. Di samping rak makanan ada rak untuk buah, disana ada seorang wanita yang mungkin sebaya denganku sedang memilih beberapa buah yang semuanya sudah ada di rumahku. Kulihat beberapa kali dia memperhatikanku. Dia menatap tingkahku beberapa lama, kubalas menatap dia malah berpaling. Aku tertawa kecil saat dia mengambil beberapa buah mangga.

        "Kenapa?" sergahnya tiba-tiba setelah melihat aku nyengir sambil menatapnya.
       "Di rumahmu tidak ada pepohonan ya? lagian yang kamu ambil itu sudah terlalu matang, tidak akan bertahan lama kalau kamu beli sebanyak itu" jawabku dengan sedikit mengejek.
       "Lalu kenapa kamu diam saja? bantuin dong.." wajahnya sedikit cemberut saat mengucapkannya.
        Dengan sedikit rasa bersalah telah menyinggungnya, aku memilihkan buah mangga yang baru matang, sambil sesekali memandangnya yang sedang benar-benar menyimak penjelasanku tentang mangga. Wajahnya tidak terlalu cantik, tingginya juga standar untuk seumurnya, rambutnya dikuncir ke belakang dengan poni di depan dan membiarkan sedikit rambutnya jatuh di samping.
         Setelah membantu menyelesaikan urusan wanita itu dengan buah, aku kembali ke rak makanan, tentunya setelah dia mengucapkan terimakasih dan memberiku sedikit senyum. Senyumnya ternyata manis, dan ada sedikit lesung pipit saat itu. Benar-benar sesuatu yang mengejutkan aku bisa sedikit mengobrol dengan wanita. Padahal sebelumnya aku tidak pernah berbicara sepatah katapun dengan wanita yang baru aku temui.

         Aku langsung menuju tempat parkir setelah membayar di meja kasir. Kujalankan motor kakakku keluar tempat parkir, dan langsung ditahan oleh tukang parkir yang merampas haknya. Setelah mendapat apa yang diinginkan, tukang parkir itu menyingkir begitu saja. Dengan sedikit kesal kutarik motor kakakku sekuat tenaga menuju rumah. Ditengah jalan aku baru sadar, kutepuk jidatku sambil menggerutu panjang lebar "ya ampun.. bodoh sekali aku ini! kenapa tadi tidak sekalian tanya namanya? aduuhh... kesempatan untuk kenal wanita lebih dekat lagi kini telah hilang... kenapa aku bodoh sekali??"

_seminggu kemudian

        Hari minggu kali ini berbeda dengan hari minggu sebelumnya. Kali ini bukan ibuku yang memintaku untuk belanja keperluan dapur. Tapi akulah yang meminta ibuku untuk menyuruhku pergi belanja lagi. Aku hanya berharap ada kesempatan sama yang datang dengan cara berbeda hari ini. Setelah kejadian seminggu lalu yang kuanggap kesalahan, akan kuperbaiki hari ini, itupun kalau kesempatan itu ada. Telah kusiapkan tekad untuk perkenalan sejak kemarin malam, dengan bermodalkan sebuah cermin aku ngobrol dengan diriku sendiri. Segala sesuatu telah kupertimbangkan, berharap aku akan benar-benar mendapat kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat.

        Saat tiba di minimarket yang sama, aku langsung menuju rak makanan, seperti minggu lalu. Tapi kehampaan kutemui disana. Kulihat rak buah, hanya ada beberapa ibu-ibu memasukkan beberapa buah ke keranjang. Wanita itu tidak ada disana. Aku menghela nafas panjang, kemudian dengan berat hati aku segera mengambil semua yang harus dibeli.

        "Haaaiii... ketemu lagi, namaku cinta.." tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara yang sedikit bersahabat.

        Aku berbalik dan kulihat wanita yang seminggu lalu kutemui di rak buah. Dia membawa keranjang berisi beberapa buah mangga. Gaya bicaranya sedikit lebih kekanak-kanakan. Model rambutnya tidak berubah, hanya pakaiannya yang berbeda dari minggu kemarin.

       "Eehh ap.pa?" jawabku sedikit gagap menanggapi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Harusnya aku yang mengucapkan itu. Aku malah jadi bingung.

       "Iiihh.. malessin banget sih.. aku ulangi haaiii... namaku cinta" seakan dia telah tahu skenario yang telah kusiapkan, bahwa aku akan menanyakan namanya. Dan dia tanpa pikir panjang langsung memperkenalkan dirinya. Mungkin aku terlalu dianggap heroik olehnya setelah kejadian minggu lalu. Dengan bibir sedikit manyun dia menanggapi kegagapanku. Tapi dia melempar senyum saat menyebutkan namanya. Tetap ada lesung pipit di pipinya. Cinta menjulurkan tangannya untuk bersalaman, dan kubalas, karena yang satu ini termasuk skenarioku kemarin malam.

       "Emm.. oke namaku Fikri" aku sempat memberikan sebersit senyum terbaikku untuknya. Aku tidak pernah menyangka dia yang akan memulai perkenalan ini.
       "Aku pikir tadi kita akan ketemu di rak buah, tapi kamu gak ada disana"
       "kesempatan yang sama tidak datang dengan cara sama" jawabku dengan sedikit berlagak bijak di hadapannya sambil dengan berpaling menyusuri rak khusus peralatan bayi. Hanya untuk menghilangkan gugupku jika bola mata kami bertemu.
       "Ehm.. keren juga tuh kata-kata"
       "Aw.." keluhku setelah Cinta menepuk lenganku dengan lembut.
       "Huuu.. lebaayy" sergahnya seakan dia tahu aku hanya akting. Dan kali ini memang benar, semua tanggapannya sesuai seakan dia bisa membaca pikiranku. Aku hanya menanggapinya dengan sedikit tawa. Dia malah mencubitku, dan cubitannya lebih menyakitkan daripada digigit semut.
        "Apaan sih main cubit-cubit segala?"
        "Hehehe.. sakit ya? maklum udah lama gak cubit orang" Cinta menjulurkan sedikit lidahnya tanda mengejek, wajahnya jadi terlihat lucu dengan tingkahnya itu.

        Setelah itu terjadi obrolan panjang antara aku dan Cinta. Mulai dari tempat tinggal, sekolah, dan apa saja yang perlu dibicarakan.

        Aku dan Cinta saling bertukar nomor hp saat keluar menuju tempat parkir. Dan dari saat itulah hubunganku dan Cinta semakin dekat. Cinta sering bercerita lewat sms tentang masalahnya dan meminta sedikit saran dariku. Cinta lebih sering mengajakku untuk bertemu di suatu tempat, tapi aku menolaknya dengan alasan tidak ada waktu. Padahal aku sangat takut untuk keluar rumah tanpa alasan. Apalagi kalau alasanku untuk menemui seorang wanita, ibuku pasti melarangku mentah-mentah tanpa ingin mendengar alasanku. Selain orang tuaku ingin menjauhkanku dari pergaulan bebas, mereka juga tidak ingin aku terjerumus pada sesuatu yang berbau maksiat. Untuk seukuran anak kampung sepertiku, aku tidak terlalu tahu pergaulan bebas itu seperti apa.

**
        Bel panjang berbunyi tiga kali, meriuhkan seisi kelas untuk segera bersiap pulang. Aku melangkah mantap menuju tempat parkir, tempat sepedaku dan beberapa kawannya dengan sabar menunggu tuannya pulang. Seisi Madrasah Aliyah Negeri Bangkalan tumpah bagai isi minuman soda yang baru dikocok. Sedangkan aku adalah salah satu dari ribuan buih yang berdesakan ingin segera keluar dari ruangan yang pengap akan pelajaran yang bagiku membosankan. Kurikulum saat ini membuat situasi belajarku buram, prentasiku down, bukan lagi menurun, tapi benar-benar jatuh. Ditambah tempat dudukku yang paling belakang, tempat segala bentuk godaan berada. Apalagi akhir-akhir ini aku lebih sering melamun, entah kenapa Cinta yang baru kukenal beberapa minggu kini telah mengacau di pikiranku. Prestasiku memang jatuh, tapi pikiranku tidak pernah sejatuh ini.

        Aku melangkahkan sepedaku keluar dari penjara ilmu ini. Jalanan penuh sesak oleh warna putih abu-abu. Tapi ada satu yang menarik perhatianku, model rambut seorang wanita yang sepertinya kukenal, tapi sebagian wajahnya tertutup oleh segerombolan siswi yang berdesakan. Aku hanya mengacuhkannya, dan tidak menatapnya sama sekali, seperti biasa sikapku pada orang asing.

        "Fikri!" panggil seseorang tiba-tiba dari belakangku. Aku berbalik dan hanya menjumpai Mila teman sekelasku melambai di belakangku.
        "Oi.." balasku seperti biasa.
        "Hati-hati ya..!" pesan Mila setelah mendahuluiku yang baru akan menaiki sepedaku. Menurut kabar teman-teman sekelasku Mila menyukaiku, tapi aku tidak mempedulikannya. Toh aku tidak dengar langsung darinya.
        "Cieee... ternyata ada juga yang perhatian dengan Fikri Teguh ini" suara Cinta terdengar dari sampingku. Dia menjulukiku Fikri Teguh karena aku lebih sering menasehati dia lewat sms, dan dia menjulukiku seperti tokoh bijak favoritnya 'Mario Teguh' yang bagiku sesuatu yang tidak penting
        Celingak-celinguk aku mencarinya. Ternyata dia yang hanya terlihat rambutnya olehku tadi. Dia membaca sebuah buku tebal yang tidak ingin kutahu judulnya sambil duduk menyamping di jok motornya yang terparkir di pinggir jalan. Kali ini penampilannya beda, mungkin karena ada kacamata minus yang bertengger di atas hidungnya.
        "Bersepeda aja nih?" lanjutnya memperhatikan aku yang baru naik sadel sepeda sambil melepas kacamata yang kemudian disimpan di tas warna pinknya.
         "Ada perlu apa nih kok sampai susah-susah menungguku pulang? Kan bisa sms, aku bisa keluar kapan saja, asalkan ada alasan, aku paling pandai memodifikasi alas.." ups.. aku keceplosan. Bisa-bisa dia curiga dengan alasanku menolak setiap ajakannya untuk bertemu.

        Benar saja matanya langsung melotot menatapku. Aku kebingungan. Aku salah tingkah saat dia tiba-tiba mendekatiku seakan bersiap memberiku hukuman yang setimpal.
          "Segera parkir sepedamu dan kita jalan bareng, gak pake lama, gak pake nanya" dengan sungguh-sungguh Cinta menunjuk tempat parkir, aku tahu benar maksudnya. Dia ingin mengganti beberapa penolakanku dengan sesuatu yang dia rencanakan hari ini.

        Aku tak habis pikir, bagaimana bisa aku membuka aibku sendiri. Aku seakan mengupas dagingku sendiri untuk diberikan pada singa. Tapi tidak separah itu, hanya perumpamaan. Dan anehnya aku hanya menuruti gertakan Cinta yang padahal lebih lembut dari ucapan ibuku.

         "Aku bawa kamu kemanapun yang aku mau, kamu makmum saja. Kalau ada yang tanya, buat alasan untuk kepergian kita. Kamu kan yang pandai membuat alasan!" Cinta memojokkanku dengan nada serius. Aku benar-benar terpojok oleh kata-kataku sendiri. Dan anehnya lagi, aku hanya diam saja di jok belakang motornya.

         Aku hanya melihat tubuh Cinta dari belakang, kepalanya tertutup helm warna pink, mungkin itu warna kesukaannya. Meskipun begitu, aku merasa jantungku berpacu. Bukan karena takut salah, tapi karena ini pertama kali aku bersepeda motor dengan seorang wanita, di boncengan lagi. Apalagi wanita yang membuat pikiranku jatuh.

        Cinta menghentikan laju motornya di sebuah gedung besar dengan logo berbagai nama supermarket, yang dikenal dengan Bangkalan Plaza. Tanpa basa-basi Cinta mengajakku masuk dan langsung naik ke lantai 3, entah ada apa disana, ini kali pertama aku kesini.

        Ternyata tempat seperti ini yang sering dibicarakan teman-teman kelasku. Hanya gedung besar tempat berbagai minimarket berkumpul. Di lantai paling atas adalah tempat makan dan bermain. Ada juga kotak tempat dua orang bicara tidak jelas dengan sebuah mikrofon. Yang akhirnya kutahu dari Cinta itu adalah tempat karaoke, tapi versi mini. Cinta mengajakku mencoba semua permainan setelah membeli uang koin dengan uang kertas, yang ternyata itu koin untuk bisa mencoba permainan seperti yang pernah kulihat di televisi.

        Setelah puas mencoba semua permainan, Cinta mengajakku menuju kotak kaca berisi banyak boneka dengan penjerat di atasnya.
        "Cobalah" Cinta memintaku setelah memasukkan dua koin ke dalamnya.
        "Caranya?" Tanyaku bingung. Aku hanya pernah melihat semacam ini di televisi.
        Aku mulai setelah Cinta menjelaskan fungsi beberapa tombol yang ada. Aku gerakkan penjerat mengarah ke sebuah boneka beruang berwarna pink. Bagaimana bisa ada beruang berwarna seperti itu, tapi warna itulah yang mungkin disukai Cinta. Penjerat meluncur mencengkeram boneka, aku tekan tombol untuk mengangkatnya, kemudian berjalan dengan sendirinya menuju pembuangan, dan..
        "Yeeeyy...." Cinta berteriak sejadinya membuat telingaku sakit.
        Cinta mengambil boneka itu dengan senyum benar-benar merekah sampai menunjukkan gigi putihnya yang rapi. Dipeluknya boneka itu layaknya sesuatu yang telah lama tidak dia temui, lebih tepatnya sesuatu yang berharga. Berkali-kali Cinta menunjukkannya padaku dengan digoyang-goyangkan. Kalau saja boneka itu manusia, mungkin isi perutnya sudah keluar semua.

         Hari ini benar-benar sesuatu yang baru untukku. Hari ini aku benar-benar bahagia, dan aku juga benar-benar membuat Cinta bahagia. Sepanjang jalan kembali ke sekolahku Cinta mengoceh sejadi-jadinya di jok belakang. Cinta memintaku yang menyetir dengan alasan masih ingin memeluk beruang pinknya. Rambutnya berkibar-kibar tanpa helm. Aku memandangnya dari kaca spion, senyumnya merekah sepanjang jalan, mungkin hari ini dia benar-benar bahagia. Aku merasakan slow motion saat itu, dan tiba-tiba terdengar sebuah lagu entah apa judulnya

  Inikah rasanya cinta
  Oh inikah cinta
  Terasa bahagia saat jumpa
  Dengan dirinya
        "Inilah cinta" gumamku dalam hati.
        "Halo! Ada apa ma?" tiba-tiba Cinta berbicara dengan hpnya. Mungkin dari mamanya. Kulihat senyumnya seketika pudar setelah diam beberapa saat.
        "Ada apa?" Tanyaku setelah Cinta menyimpan hpnya kembali.
        Cinta tidak mengatakan sepatah katapun sampai tiba di sekolahku.
        "Aku pulang dulu ya fik. Makasih banyak untuk hari ini" ucap Cinta saat aku kembali dengan sepedaku untuk bersiap pulang.
        "Mamanya bilang apa?" tanyaku memastikan. Karena senyum indahnya tidak kembali lagi.
        "Cuma nyuruh aku cepat pulang" jawab Cinta dengan sedikit menunduk dan nada yang menurun.
        "Emm.. oke deh, makasih juga untuk hari ini. Hati-hati ya!" ucapku saat Cinta mulai menjalankan motornya. Cinta hanya melambai sambil berlalu.

 **

_2 tahun kemudian

         Aku melangkah masuk minimarket tempat aku dan Cinta bertemu untuk pertama kali. Suasananya tidak berubah, tukang parkir semakin tidak bertanggung jawab, hanya ruangannya yang diperluas, dan kini dilengkapi dengan kamera cctv. Aku perhatikan satu-satu layar televisi yang menampilkan hasil rekaman kamera cctv mulai dari yang bernomor 1 sampai 22. Setiap minggu aku ke minimarket ini, dan setiap minggu pula aku memperhatikan rekaman cctvnya. Setelah Cinta menghilang tanpa kabar 2 tahun yang lalu, aku lebih sering kesini, berharap aku bisa bertemu dengannya lagi di tempat pertemuan pertamaku dengannya. Tapi hasilnya nihil. Cinta menghilang tanpa jejak bagai ditelan bumi.
        Aku mencoba mengembalikan ingatanku ke 2 tahun lalu dengan menyentuh beberapa buah mangga. Aku merasakan jantungku berdegup lebih kencang, seakan semuanya benar-benar terulang lagi. Senyumnya, lesung pipitnya, tingkahnya yang kekanak-kanakan, saat dia mencubit lenganku, saat dia bahagia mendapat boneka beruang pink, saat aku merasakan slow motion, dan lagu itu.
  Inikah rasanya cinta
  Oh inikah cinta
  Terasa bahagia saat jumpa
  Dengan dirinya

        Ahh.. lagu itu terdengar lagi. Tapi ini lebih terdengar nyata, mungkin karena aku benar-benar merindukan Cinta.
        "Halo! Ada apa ma?" suara ini seperti pernah kudengar. "Iya ma, ini masih ada urusan" suaranya yang kekanak-kanakan tidak pernah berubah. "Iihh.. mama ini, jadi gagal yang mau ngasih surprise"

        Aku berbalik, mengucek mata beberapa kali, mencubit lenganku sendiri, berharap ini bukan mimpi. Cinta, malaikat yang selama 2 tahun ini kucari, kini berdiri di hadapanku dengan senyum indahnya. Boneka beruang pink bersanding dengan tas pinknya. Tidak ada yang berubah dari dirinya.

       "Maaf ya gak ngasih kabar. Soalnya waktu itu aku disuruh cepet pulang untuk pindah ke singapura dan sekolah disana. Jadi gak sempat pamit. Karena gak sempat pamit, sekalian gak ngasih kabar, untuk tes kesetiaanmu. Aku baru kemaren pulang, dan langsung kesini, tapi kata tukang parkir kamu udah pulang, jadi aku balik lagi hari ini" Cinta menjelaskan segala sesuatunya seakan telah dilatih dari jauh-jauh hari. Senyumnya benar-benar tidak berubah, indah sekali. Sedang aku hanya berdiri mematung seakan tidak percaya.

        "I.i.ini.kah Cinta?" dengan tergagap-gagap aku ingin memastikan apa yang kulihat di hadapanku ini.
        "Inilah aku, Cinta!" jawabnya lancar dan segera menubruk memelukku. "Makasih ya udah setia menungguku selama dua tahun ini. Sekali lagi makasih, dan maaf" pelukannya semakin erat, isaknya kini mulai menjadi, membuatku tidak bisa berkata apa-apa.

Wednesday, April 3, 2013

Deja vú


            
            Hari itu adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku, yaitu hari dimana aku diterima di MAN Bangkalan. Pendaftaran tidak terlalu sulit, berkat dukungan dan doa dari orang tua dan juga bimbingan dari guru SMP ku.
Hari itu juga aku pertama kali menginjakkan kaki di MAN Bangkalan, karena sebelumnya aku tidak pernah mendengar ataupun tahu tentang MAN Bangkalan. Dan saat itu juga aku bertemu dengan banyak wajah yang tidak pernah aku lihat.
Aku mendaftar bersama dengan teman SMP ku, Yudi namanya. Dia baik, pintar, dan tidak terlalu pendek. Aku mulai akrab dengannya sejak kelas 2 SMP, yang waktu itu aku sekelas dengannya. Dan diterima di MAN Bangkalan ini juga sekelas dengannya.
Aku termasuk anak yang kurang pergaulan, sosial rendah, dan sulit untuk beradaptasi dengan orang-orang di sekitar. Karena itulah aku masih dan tetap berbarengan dengan Yudi kemanapun aku pergi selama satu semester. Mulai dari berangkat sekolah, sampai pulang sekolah pun bareng. Tapi setelah semester satu berakhir, aku mulai punya banyak teman dari kelasku, karena merekalah yang mulai mengenalku dan mulai akrab denganku. Tapi berangkat dan pulang sekolah tetap bareng Yudi.
***
Pada satu hari dimana di MAN Bangkalan mengadakan acara Pensi tempatnya di lapangan. Dan pada saat itulah semua siswa berhamburan dimana-mana, mulai dari yang berdiri di tengah lapangan, duduk-duduk di pinggir lapangan, ngobrol di tangga, bersenda gurai di lantai atas, main-main di luar kelas, diam di dalam kelas, dan tidak banyak juga yang memenuhi panggilan perut, kemana lagi kalau bukan ke kopsis. Sedangkan aku masih bersama Yudi di lantai atas. Aku memilih menikmati alunan lagu yang di bawakan salah satu band yang tampil, yang kebetulan lagunya adalah lagu kesukaanku, pujaan hati (kangen band). Sedang Yudi memilih untuk menikmati pemandangan sekitar, sambil sesekali matanya berkeliling menyapu seisi lapangan.
Tiba-tiba kulihat mata Yudi menatap sesosok makhluk indah yang lewat di belakangku. Kulihat makhluk itu, dia menatapku dengan senyum yang menawan.Melihat senyum itu aku merasakan deja vú, atau bahasa kerennya flash back. Aku kembali ke saat dimana aku masih kelas lima SD, dan saat itu aku mengikuti lomba lukis di SD lain. Dan saat itu juga aku bertemu dengan gadis berambut sebahu dan dengan senyum menawan duduk di sebelah tempatku duduk.
“lukisanmu bagus...” katanya dengan melempar senyum kearahku, senyum yang tidak bisa kulupakan hingga saat ini.
Aku membalas senyumnya, dan hanya diam. Sambil sesekali memandanginya melukis. Lukisannya rapi dan indah, beda dengan lukisanku yang hampir mirip dengan lukisan abstrak.
“itu anak kelas lain kan?” tanya Yudi tiba-tiba.
“mungkin.... di kelas kan tidak ada anak seperti dia” jawabku sambil mengembalikan dunia nyataku.
“cantik juga dia” kata Yudi sambil nyengir. Dan makhluk indah itu pun berlalu dari pandangan.
Sejak saat itu aku mulai bertanya-tanya dalam benakku, apa makhluk tadi itu benar-benar gadis berambut sebahu? atau hanya mirip? tapi senyumnya benar-benar milik gadis berambut sebahu itu. Semakin aku mengingat, semakin aku bingung. Kuputar lagi ingatanku menuju saat dimana aku mengikuti lomba melukis dan bertemu dengan gadis berambut sebahu. Kuingat-ingat wajahnya, tapi tidak bisa, aku hanya ingat rambut dan senyumnya yang indah, tidak dengan wajahnya.
Saat pulang sekolah Yudi mengobrol tentang makhluk indah yang dia lihat tadi. Dia terkagum-kagum, mungkin dia langsung jatuh cinta begitu melihatnya tadi. Yudi bercerita panjang lebar, aku tidak benar-benar mendengar apa yang dia bicarakan, dan aku hanya meresponnya dengan senyum dan tawa. Dan dalam benakku tercampur aduk banyak pertanyaan. Mengapa aku merasakan deja vú begitu melihat senyumnya? bagaimana caraku mencari tahu bahwa makhluk indah tadi itu adalah gadis berambut sebahu? atau dia bukan gadis berambut sebahu? ataukah memang banyak makhluk indah yang memiliki senyum seperti itu?
Tidak terasa aku sampai di depan rumahku, kulihat Yudi melambaikan tangan agak jauh dariku. Aku benar-benar tidak merasakan jauhnya perjalanan ke rumahku.
Sampai di rumah aku langsung merebahkan tubuhku di kamarku, sambil berusaha mengingat-ingat senyum makhluk indah tadi dengan gadis berambut sebahu. beberapa lama aku memikirkannya, tetap tidak ada hasil. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba bertanya langsung pada makhluk indah itu suatu saat nanti. Dan aku pun tertidur.
***
_2 tahun kemudian
Akhirnya sekarang aku tahu siapa makhluk indah itu, yang dia bukanlah gadis berambut sebahu yang senyumnya tidak bisa kulupakan. Dan biarlah gadis berambut sebahu itu menjadi kenangan tak terlupakan sepanjang hidupku. Aku sadar, bahwa setiap makhluk indah itu memiliki daya tarik tersendiri, tapi kebanyakan hampir memiliki kesamaan. Mungkin seperti makhluk indah yang sekarang kutahu siapa dia dengan gadis berambut sebahu yang sampai sekarang tidak kutahu segala sesuatunya.

SEKIAN...

Gerbang Maut



Pagi-pagi aku bangun, kulihat jam di Hand Phone ku menunjukkan jam 06.45, sudah waktunya bel masuk, dan lima menit lagi aku terlambat. Segera aku loncat dari tempat tidur, kusambar seragam sekolah dan langsung kukenakan, tak lupa juga tas yang isinya buku pelajaran kemarin, dan segera berlari menuju ke kamar mandi untuk cuci muka. Selesai cuci muka langsung kurampas sepatu dari peraduannya dan langsung kupakai sambil berlari menuju sepeda motor, dan langsung kunyalakan. Kutarik gas beberapa kali dan langsung tancap gas menuju sekolah. Di jalan kusempatkan untuk sesekali melihat Hand Phone, jam menunjukkan pukul 6.49, 1 menit lagi aku benar-benar terlambat.
Sampai di gerbang, bertepatan dengan pak satpam hendak menutup gerbang. Segera kularikan sepeda motorku ke dalam sekolah, dan tepat dengan pak satpam menutup gerbang rapat-rapat. Aku menoleh ke belakang, ada beberapa siswa yang diusir oleh pak satpam karena terlambat, untung aku tidak terlambat. Langsung kuparkir sepeda motorku, dan berlari menuju kelas.
Kulihat seisi sekolah sepi, semua siswa telah memasuki kelas masing-masing. Aku berdiri di depan pintu kelas bertuliskan XII-IPA 3, inilah kelasku. Suasana di dalam ramai oleh lantunan doa teman-teman kelasku. Aku menunggu sampai pembacaan doanya selesai. Aku mengetok pintu dan mengucapkan salam setelah pembacaan doa selesai. Suasana di dalam langsung berubah menjadi riuh oleh suara teman-temanku yang mengoceh karena aku terlambat, termasuk Sahrul, temanku yang lebih sering mengejekku daripada menjelek-jelekkanku. Kulihat seisi kelas, ada beberapa anak yang tidak masuk tanpa keterangan, mungkin karena terlambat dan di usir.
Waktu istirahat, Sahrul, Rudy, dan Nizam menanyakan alasan aku terlambat.
“kenapa telat ta?” tanya Nizam.
“biasa zam, kesiangan” jawabku santai.
“kesiangan tok lu ta.. pas kapan yang gak kesiangan kalo malemnya online terus” sergah Sahrul yang banyak tahu tentangku.
“kayak aku ini ta, gak pernah telat...” kata Rudy membanggakan diri.
“alaaah lu rud, baru aja kemarin telat, sekarang bilang gak pernah telat” kataku sambil memukul bahu Rudy.
“aku yang telat tiga kali biasa aja tuh” kata Nizam yang memang sering telat.
“aku lho masih empat kali” Sahrul bangga karena diantara siswa di kelasku, dialah yang paling sering telat.
“memang ya gerbang itu banyak memakan korban, aku aja tadi hampir jadi korbannya, untung aku cepat-cepat masuk”
“ya memang... kita kasih nama tu gerbang dengan nama gerbang maut, gimana?” dengan mata berbinar-binar Sahrul mengajukan pendapatnya.
“bisa jadi..” jawab Rudy.
“ya.. soalnya hampir sama dengan cerita gerbong maut di pelajaran sejarah itu, kalo gerbong maut kan memakan banyak jiwa, kalo gerbang maut memakan banyak nilai” jelas Nizam dengan lagak seorang sejarawan.
“sip itu... kalo pak satpam gimana?” tanyaku.
“pak satpam itu lebih cocok jadi penjaga gerbang maut” jawab Rudy.
“wah bagus juga itu, cocok dengan tampang pak satpam yang lebih mirip penjaga makam” Nizam menambahkan dan membuat kami semua tertawa sampai meramaikan seisi kelas.

Keesokan harinya aku bangun lebih pagi dari sebelumnya, sehingga aku tidak lagi jadi korban gerbang maut. Dan pagi itu aku memilih untuk mandi. Tapi malangnya malah Sahrul dan Rudy yang jadi korbannya, tapi mereka tidak bisa masuk, dan di usir. Dalam hati aku tertawa karena merasa lucu, kemarin mereka yang paling jadi mengejekku, sekarang mereka merasakan sendiri akibatnya.
Kelas menjadi lebih sepi dari biasanya tanpa Sahrul dan Rudy, tapi masih ada Nizam yang membuat suasana sedikit ramai. Ternyata aku juga merindukan suasana seperti itu, meskipun terkadang aku merasa jengkel dengan keramaian.
Besoknya lagi aku bangun terlambat lagi. Seperti biasa, kupakai seragam, cuci muka, pakai sepatu, menyalakan sepeda motor, dan langsung ngebut.
Sampai di gerbang maut, kulihat gigi-gigi besinya menutup rapat, dan kulihat penjaga gerbang maut melambaikan tangan kedepan kebelakang tanda mengusir. Langsung aku lemas di sepeda motorku. Tiba-tiba Nizam menyapaku dari belakang, ternyata dia juga terlambat. Rasa kecewa menyelimuti wajahku, bukan karena apa, tapi seandainya aku benar-benar harus pulang, aku pasti hanya sendiri di rumah. Nonton TV sendirian, main laptop sendirian. Tiba-tiba rasa khawatirku terobati.
“waah... janjian telatnya nih” sapa Sahrul dan Rudy yang lebih telat dariku dan nizam.
“ayo kita hepi-hepi di luar...” ajakku dengan penuh semangat setelah aku sadar kalau aku tidak sendirian.
“ayooo...” jawab Sahrul, Rudy dan Nizam hampir bersamaan.
Aku, Sahrul, Rudy, dan Nizam berkeliling kota bersama-sama. Dengan memakai seragam lengkap, dan membuat jalan raya menjadi ramai oleh suara sepeda motor kami. Dalam benakku aku berkata, menjadi korban gerbang maut tidak sepenuhnya menyakitkan, jika kebersamaan terjalin di dalamnya, maka keindahan akan terjadi. Aku menikmati penderitaan menjadi korban gerbang maut bersama teman-teman yang mewarnai hidupku dengan tawa dan kegembiraan. Dan aku juga sadar, bahwa setiap penderitaan, seperih apapun penderitaan itu, akan menjadi indah jika menjalaninya bersama-sama dan penuh kepercayaan.
Selesai...

Wednesday, January 9, 2013

Kokok Pertama dan Terakhir



Namanya izul, dia tinggal di desa terpencil yang tidak masuk peta di kabupaten Bangkalan. Anggaplah desa itu bernama Suka Jaya. Dia tinggal di rumahnya bersama kedua orang tuanya dan satu adik perempuannya. Izul masih berumur masih 10 tahun, tapi dia tidak sekolah, dan dia juga giat membantu kedua orang tuanya membersihkan kebun milik orang dan juga menjaga adiknya yang masih berumur 5 tahun.
Keluarganya sangat miskin, penghasilan kedua orang tuanya yang hanya membantu membersihkan ladang atau kebun milik orang hanya cukup untuk membeli beras untuk makan 2 hari. Selain itu hanya bisa membeli garam dan bawang secukupnya.
Izul sangat suka memelihara hewan, termasuk ayam. Di rumahnya Izul memelihara 2 ekor anak ayam yang kebetulan jantan dan betina. Izul berharap, saat ayam jantannya dewasa nanti, dialah yang membangunkan Izul setiap pagi dengan kokoknya. Agar Izul tidak terlambat bangun untuk shalat subuh.
Izul merawat keduanya dengan sungguh-sungguh, memberinya makan dari setengah piring nasi jatah makannya setiap hari, sampai kedua ayam itu tumbuh menjadi ayam dewasa. Tapi malangnya, ayam jantannya mungkin mempunyai penyakit, sampai ayam jantan itu tidak bisa berkokok, hanya bisa berjalan, makan, dan kawin. Izul kecewa sekali, tapi dia masih berharap pada anak-anak mereka. Sampai suatu saat Izul menjumpai ayam betinanya bertelur sebanyak 8 butir. Saat itulah Izul sangat senang dan segera memberitahu orang tuanya tentang itu. Tapi saat itulah orang tua Izul berkata.
“saat ini kita sudah bosan makan nasi ikan garam, jadi berikan telur itu pada kita tujuh saja, untuk lauk kita selama seminggu, dan sisanya bisa kau eramkan pada induknya, nanti kau juga bisa menikmatinya” orang tua Izul meminta dengan ekspresi yang sangat dalam, seperti drama di tv yang menampilkan seorang pengemis yang sedang minta-minta.
Mendengar orang tuanya berkata seperti itu, Izul hanya manut saja, padahal dalam hatinya dia tidak ingin mengurangi satu pun telur ayamnya itu. Tapi dia hanya bisa menuruti kemauan orang tuanya itu, karena dia tahu bahwa hanya karena kedua orang tuanyalah sampai sekarang dia masih hidup dan masih bisa berjalan. Akhirnya setiap hari selama seminggu keluarga itu menggoreng telur dadar yang di potong menjadi empat untuk lauk makan mereka. Setelah ketujuh telur itu habis, keluarga itu kembali makan dengan garam lagi.
Setelah ayam betina mengerami telurnya selama 2 minggu, orang tua Izul kembali memohon kepada Izul untuk memotong ayam yang jantan, dan dengan ekspresi dan nada yang sama, orang tua Izul kembali berkata.
“saat ini kita sudah bosan makan nasi ikan garam, jadi ayam jantan itu potong saja, untuk lauk kita, dan nanti kau juga bisa menikmatinya, kan masih ada ayam betina dan telurnya, dan sebentar lagi telurnya juga menetas”
Izul hanya menuruti kedua orang tuanya dan memberikan ayam jantan itu untuk dipotong dan dimasak untuk lauk selama 2 minggu. Izul juga ikut memakannya bersama kedua orang tuanya, tapi Izul hanya bisa berharap pada calon ayam yang di erami ayam betina miliknya itu.
Setelah 3 minggu, telur itu pun menetas. Izul sangat senang dan berjanji merawatnya agar tidak ada penyakit yang menimpanya seperti induknya.
Saat anak ayam itu berumur 2 bulan, Izul sangat senang kalau ternyata anak ayam itu ternyata jantan seperti yang di harapkan. Tapi saat itulah orang tua Izul kembali meminta induk ayam itu untuk di potong. Tidak perlu mengulang perkataan orang tuanya lagi, karena kata-kata, ekspresi, dan nadanya sama saja dengan sebelumnya. Dan anehnya Izul hanya manut saja pada orang tuanya.
Izul tetap merawat anak ayam itu sampai tumbuh menjadi ayam dewasa yang gagah, berdirinya tegap, dan jenggernya merah tanda kejantanan. Izul sangat senang dan menunggu saat ayam itu berkokok, dan yang akan membuatnya senang.
Di pagi hari saat Izul masih terlelap dalam tidurnya, dia mendengar kokok ayam yang sangat merdu dan indah, membuatnya terbangun dan sangat senang sekali. Izul meloncat-loncat di atas tikar tempat tidurnya karena kegirangan. Izul segera keluar rumah dan mencari sumber suara itu, dia semakin senang setelah melihat kalau ayamnyalah yang berkokok dengan suara indah itu. Izul segera berlari menuju ayamnya dan memeluknya, dan Izul memberinya nama “Jalu” yang artinya Jago dan Luar Biasa. Izul sangat senang karena ayamnya akan membangunkannya di pagi hari, dan membuatnya tidak terlambat lagi untuk shalat subuh.
Besok paginya Izul bangun setelah mencium aroma yang sedap dari dapurnya, dia segera bangun dan melihat keluar, di luar sudah terang dan matahari sudah tinggi. Saat itulah Izul sadar kalau ayamnya tidak membangunkannya lagi untuk shalat subuh. Izul segera berlari ke kandangnya, untuk mencari Jalu. Tapi Izul tidak dapat menemukannya dimanapun, dan mulai khawatir. Sampai akhirnya Izul sadar dan segera berlari  ke dapur dan mendapati ibunya sedang menggoreng ayamnya, itulah Jalu, yang akan menjadi lauk makan keluarga mereka selama 2 minggu. Tapi orang tuanya tidak meminta pada Izul, tapi mengambilnya waktu malam hari saat Izul sudah tertidur.
Selama 2 minggu keluarga itu menjadikan Jalu sebagai lauk, dan selama 2 minggu itu juga Izul sedih, karena sesuatu yang diharapkannya dari dulu, hilang hanya menjadi lauk untuk makan keluarganya. Setelah itu Izul jatuh sakit karena dalam 2 minggu itu Izul hanya makan bubur 3 kali. Badannya kurus kering, wajahnya pucat, dan dia tidak mengatakan sepatah katapun setelah kepergian Jalu. Banyak ayam yang di tawarkan kepadanya oleh kedua orang tuanya yang dibeli dari tetangganya, tapi Izul tetap tidak mau meskipun uang untuk membelinya adalah uang untuk membeli beras selama seminggu. Setelah seminggu Izul sakit, dia memejamkan mata untuk terakhir kalinya di pagi hari saat semua keluarganya masih tidur.

SEKIAN..