Wednesday, April 3, 2013

Gerbang Maut



Pagi-pagi aku bangun, kulihat jam di Hand Phone ku menunjukkan jam 06.45, sudah waktunya bel masuk, dan lima menit lagi aku terlambat. Segera aku loncat dari tempat tidur, kusambar seragam sekolah dan langsung kukenakan, tak lupa juga tas yang isinya buku pelajaran kemarin, dan segera berlari menuju ke kamar mandi untuk cuci muka. Selesai cuci muka langsung kurampas sepatu dari peraduannya dan langsung kupakai sambil berlari menuju sepeda motor, dan langsung kunyalakan. Kutarik gas beberapa kali dan langsung tancap gas menuju sekolah. Di jalan kusempatkan untuk sesekali melihat Hand Phone, jam menunjukkan pukul 6.49, 1 menit lagi aku benar-benar terlambat.
Sampai di gerbang, bertepatan dengan pak satpam hendak menutup gerbang. Segera kularikan sepeda motorku ke dalam sekolah, dan tepat dengan pak satpam menutup gerbang rapat-rapat. Aku menoleh ke belakang, ada beberapa siswa yang diusir oleh pak satpam karena terlambat, untung aku tidak terlambat. Langsung kuparkir sepeda motorku, dan berlari menuju kelas.
Kulihat seisi sekolah sepi, semua siswa telah memasuki kelas masing-masing. Aku berdiri di depan pintu kelas bertuliskan XII-IPA 3, inilah kelasku. Suasana di dalam ramai oleh lantunan doa teman-teman kelasku. Aku menunggu sampai pembacaan doanya selesai. Aku mengetok pintu dan mengucapkan salam setelah pembacaan doa selesai. Suasana di dalam langsung berubah menjadi riuh oleh suara teman-temanku yang mengoceh karena aku terlambat, termasuk Sahrul, temanku yang lebih sering mengejekku daripada menjelek-jelekkanku. Kulihat seisi kelas, ada beberapa anak yang tidak masuk tanpa keterangan, mungkin karena terlambat dan di usir.
Waktu istirahat, Sahrul, Rudy, dan Nizam menanyakan alasan aku terlambat.
“kenapa telat ta?” tanya Nizam.
“biasa zam, kesiangan” jawabku santai.
“kesiangan tok lu ta.. pas kapan yang gak kesiangan kalo malemnya online terus” sergah Sahrul yang banyak tahu tentangku.
“kayak aku ini ta, gak pernah telat...” kata Rudy membanggakan diri.
“alaaah lu rud, baru aja kemarin telat, sekarang bilang gak pernah telat” kataku sambil memukul bahu Rudy.
“aku yang telat tiga kali biasa aja tuh” kata Nizam yang memang sering telat.
“aku lho masih empat kali” Sahrul bangga karena diantara siswa di kelasku, dialah yang paling sering telat.
“memang ya gerbang itu banyak memakan korban, aku aja tadi hampir jadi korbannya, untung aku cepat-cepat masuk”
“ya memang... kita kasih nama tu gerbang dengan nama gerbang maut, gimana?” dengan mata berbinar-binar Sahrul mengajukan pendapatnya.
“bisa jadi..” jawab Rudy.
“ya.. soalnya hampir sama dengan cerita gerbong maut di pelajaran sejarah itu, kalo gerbong maut kan memakan banyak jiwa, kalo gerbang maut memakan banyak nilai” jelas Nizam dengan lagak seorang sejarawan.
“sip itu... kalo pak satpam gimana?” tanyaku.
“pak satpam itu lebih cocok jadi penjaga gerbang maut” jawab Rudy.
“wah bagus juga itu, cocok dengan tampang pak satpam yang lebih mirip penjaga makam” Nizam menambahkan dan membuat kami semua tertawa sampai meramaikan seisi kelas.

Keesokan harinya aku bangun lebih pagi dari sebelumnya, sehingga aku tidak lagi jadi korban gerbang maut. Dan pagi itu aku memilih untuk mandi. Tapi malangnya malah Sahrul dan Rudy yang jadi korbannya, tapi mereka tidak bisa masuk, dan di usir. Dalam hati aku tertawa karena merasa lucu, kemarin mereka yang paling jadi mengejekku, sekarang mereka merasakan sendiri akibatnya.
Kelas menjadi lebih sepi dari biasanya tanpa Sahrul dan Rudy, tapi masih ada Nizam yang membuat suasana sedikit ramai. Ternyata aku juga merindukan suasana seperti itu, meskipun terkadang aku merasa jengkel dengan keramaian.
Besoknya lagi aku bangun terlambat lagi. Seperti biasa, kupakai seragam, cuci muka, pakai sepatu, menyalakan sepeda motor, dan langsung ngebut.
Sampai di gerbang maut, kulihat gigi-gigi besinya menutup rapat, dan kulihat penjaga gerbang maut melambaikan tangan kedepan kebelakang tanda mengusir. Langsung aku lemas di sepeda motorku. Tiba-tiba Nizam menyapaku dari belakang, ternyata dia juga terlambat. Rasa kecewa menyelimuti wajahku, bukan karena apa, tapi seandainya aku benar-benar harus pulang, aku pasti hanya sendiri di rumah. Nonton TV sendirian, main laptop sendirian. Tiba-tiba rasa khawatirku terobati.
“waah... janjian telatnya nih” sapa Sahrul dan Rudy yang lebih telat dariku dan nizam.
“ayo kita hepi-hepi di luar...” ajakku dengan penuh semangat setelah aku sadar kalau aku tidak sendirian.
“ayooo...” jawab Sahrul, Rudy dan Nizam hampir bersamaan.
Aku, Sahrul, Rudy, dan Nizam berkeliling kota bersama-sama. Dengan memakai seragam lengkap, dan membuat jalan raya menjadi ramai oleh suara sepeda motor kami. Dalam benakku aku berkata, menjadi korban gerbang maut tidak sepenuhnya menyakitkan, jika kebersamaan terjalin di dalamnya, maka keindahan akan terjadi. Aku menikmati penderitaan menjadi korban gerbang maut bersama teman-teman yang mewarnai hidupku dengan tawa dan kegembiraan. Dan aku juga sadar, bahwa setiap penderitaan, seperih apapun penderitaan itu, akan menjadi indah jika menjalaninya bersama-sama dan penuh kepercayaan.
Selesai...

No comments:

Post a Comment