Pagi-pagi
aku bangun, kulihat jam di Hand Phone ku menunjukkan jam 06.45, sudah waktunya
bel masuk, dan lima menit lagi aku terlambat. Segera aku loncat dari tempat
tidur, kusambar seragam sekolah dan langsung kukenakan, tak lupa juga tas yang
isinya buku pelajaran kemarin, dan segera berlari menuju ke kamar mandi untuk
cuci muka. Selesai cuci muka langsung kurampas sepatu dari peraduannya dan
langsung kupakai sambil berlari menuju sepeda motor, dan langsung kunyalakan.
Kutarik gas beberapa kali dan langsung tancap gas menuju sekolah. Di jalan
kusempatkan untuk sesekali melihat Hand Phone, jam menunjukkan pukul 6.49, 1
menit lagi aku benar-benar terlambat.
Sampai di
gerbang, bertepatan dengan pak satpam hendak menutup gerbang. Segera kularikan
sepeda motorku ke dalam sekolah, dan tepat dengan pak satpam menutup gerbang
rapat-rapat. Aku menoleh ke belakang, ada beberapa siswa yang diusir oleh pak
satpam karena terlambat, untung aku tidak terlambat. Langsung kuparkir sepeda
motorku, dan berlari menuju kelas.
Kulihat
seisi sekolah sepi, semua siswa telah memasuki kelas masing-masing. Aku berdiri
di depan pintu kelas bertuliskan XII-IPA 3, inilah kelasku. Suasana di dalam
ramai oleh lantunan doa teman-teman kelasku. Aku menunggu sampai pembacaan doanya
selesai. Aku mengetok pintu dan mengucapkan salam setelah pembacaan doa
selesai. Suasana di dalam langsung berubah menjadi riuh oleh suara
teman-temanku yang mengoceh karena aku terlambat, termasuk Sahrul, temanku yang
lebih sering mengejekku daripada menjelek-jelekkanku. Kulihat seisi kelas, ada
beberapa anak yang tidak masuk tanpa keterangan, mungkin karena terlambat dan
di usir.
Waktu
istirahat, Sahrul, Rudy, dan Nizam menanyakan alasan aku terlambat.
“kenapa
telat ta?” tanya Nizam.
“biasa
zam, kesiangan” jawabku santai.
“kesiangan
tok lu ta.. pas kapan yang gak kesiangan kalo malemnya online terus” sergah
Sahrul yang banyak tahu tentangku.
“kayak aku
ini ta, gak pernah telat...” kata Rudy membanggakan diri.
“alaaah lu
rud, baru aja kemarin telat, sekarang bilang gak pernah telat” kataku sambil
memukul bahu Rudy.
“aku yang
telat tiga kali biasa aja tuh” kata Nizam yang memang sering telat.
“aku lho
masih empat kali” Sahrul bangga karena diantara siswa di kelasku, dialah yang
paling sering telat.
“memang ya
gerbang itu banyak memakan korban, aku aja tadi hampir jadi korbannya, untung
aku cepat-cepat masuk”
“ya
memang... kita kasih nama tu gerbang dengan nama gerbang maut, gimana?” dengan
mata berbinar-binar Sahrul mengajukan pendapatnya.
“bisa
jadi..” jawab Rudy.
“ya..
soalnya hampir sama dengan cerita gerbong maut di pelajaran sejarah itu, kalo
gerbong maut kan memakan banyak jiwa, kalo gerbang maut memakan banyak nilai”
jelas Nizam dengan lagak seorang sejarawan.
“sip
itu... kalo pak satpam gimana?” tanyaku.
“pak
satpam itu lebih cocok jadi penjaga gerbang maut” jawab Rudy.
“wah bagus
juga itu, cocok dengan tampang pak satpam yang lebih mirip penjaga makam” Nizam
menambahkan dan membuat kami semua tertawa sampai meramaikan seisi kelas.
Keesokan
harinya aku bangun lebih pagi dari sebelumnya, sehingga aku tidak lagi jadi
korban gerbang maut. Dan pagi itu aku memilih untuk mandi. Tapi malangnya malah
Sahrul dan Rudy yang jadi korbannya, tapi mereka tidak bisa masuk, dan di usir.
Dalam hati aku tertawa karena merasa lucu, kemarin mereka yang paling jadi
mengejekku, sekarang mereka merasakan sendiri akibatnya.
Kelas
menjadi lebih sepi dari biasanya tanpa Sahrul dan Rudy, tapi masih ada Nizam
yang membuat suasana sedikit ramai. Ternyata aku juga merindukan suasana
seperti itu, meskipun terkadang aku merasa jengkel dengan keramaian.
Besoknya
lagi aku bangun terlambat lagi. Seperti biasa, kupakai seragam, cuci muka,
pakai sepatu, menyalakan sepeda motor, dan langsung ngebut.
Sampai di
gerbang maut, kulihat gigi-gigi besinya menutup rapat, dan kulihat penjaga
gerbang maut melambaikan tangan kedepan kebelakang tanda mengusir. Langsung aku
lemas di sepeda motorku. Tiba-tiba Nizam menyapaku dari belakang, ternyata dia
juga terlambat. Rasa kecewa menyelimuti wajahku, bukan karena apa, tapi
seandainya aku benar-benar harus pulang, aku pasti hanya sendiri di rumah.
Nonton TV sendirian, main laptop sendirian. Tiba-tiba rasa khawatirku terobati.
“waah...
janjian telatnya nih” sapa Sahrul dan Rudy yang lebih telat dariku dan nizam.
“ayo kita
hepi-hepi di luar...” ajakku dengan penuh semangat setelah aku sadar kalau aku
tidak sendirian.
“ayooo...”
jawab Sahrul, Rudy dan Nizam hampir bersamaan.
Aku,
Sahrul, Rudy, dan Nizam berkeliling kota bersama-sama. Dengan memakai seragam lengkap,
dan membuat jalan raya menjadi ramai oleh suara sepeda motor kami. Dalam
benakku aku berkata, menjadi korban gerbang maut tidak sepenuhnya
menyakitkan, jika kebersamaan terjalin di dalamnya, maka keindahan akan
terjadi. Aku menikmati penderitaan menjadi korban gerbang maut bersama
teman-teman yang mewarnai hidupku dengan tawa dan kegembiraan. Dan aku juga
sadar, bahwa setiap penderitaan, seperih apapun penderitaan itu, akan menjadi
indah jika menjalaninya bersama-sama dan penuh kepercayaan.
Selesai...
No comments:
Post a Comment