Wednesday, April 3, 2013

Deja vú


            
            Hari itu adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku, yaitu hari dimana aku diterima di MAN Bangkalan. Pendaftaran tidak terlalu sulit, berkat dukungan dan doa dari orang tua dan juga bimbingan dari guru SMP ku.
Hari itu juga aku pertama kali menginjakkan kaki di MAN Bangkalan, karena sebelumnya aku tidak pernah mendengar ataupun tahu tentang MAN Bangkalan. Dan saat itu juga aku bertemu dengan banyak wajah yang tidak pernah aku lihat.
Aku mendaftar bersama dengan teman SMP ku, Yudi namanya. Dia baik, pintar, dan tidak terlalu pendek. Aku mulai akrab dengannya sejak kelas 2 SMP, yang waktu itu aku sekelas dengannya. Dan diterima di MAN Bangkalan ini juga sekelas dengannya.
Aku termasuk anak yang kurang pergaulan, sosial rendah, dan sulit untuk beradaptasi dengan orang-orang di sekitar. Karena itulah aku masih dan tetap berbarengan dengan Yudi kemanapun aku pergi selama satu semester. Mulai dari berangkat sekolah, sampai pulang sekolah pun bareng. Tapi setelah semester satu berakhir, aku mulai punya banyak teman dari kelasku, karena merekalah yang mulai mengenalku dan mulai akrab denganku. Tapi berangkat dan pulang sekolah tetap bareng Yudi.
***
Pada satu hari dimana di MAN Bangkalan mengadakan acara Pensi tempatnya di lapangan. Dan pada saat itulah semua siswa berhamburan dimana-mana, mulai dari yang berdiri di tengah lapangan, duduk-duduk di pinggir lapangan, ngobrol di tangga, bersenda gurai di lantai atas, main-main di luar kelas, diam di dalam kelas, dan tidak banyak juga yang memenuhi panggilan perut, kemana lagi kalau bukan ke kopsis. Sedangkan aku masih bersama Yudi di lantai atas. Aku memilih menikmati alunan lagu yang di bawakan salah satu band yang tampil, yang kebetulan lagunya adalah lagu kesukaanku, pujaan hati (kangen band). Sedang Yudi memilih untuk menikmati pemandangan sekitar, sambil sesekali matanya berkeliling menyapu seisi lapangan.
Tiba-tiba kulihat mata Yudi menatap sesosok makhluk indah yang lewat di belakangku. Kulihat makhluk itu, dia menatapku dengan senyum yang menawan.Melihat senyum itu aku merasakan deja vú, atau bahasa kerennya flash back. Aku kembali ke saat dimana aku masih kelas lima SD, dan saat itu aku mengikuti lomba lukis di SD lain. Dan saat itu juga aku bertemu dengan gadis berambut sebahu dan dengan senyum menawan duduk di sebelah tempatku duduk.
“lukisanmu bagus...” katanya dengan melempar senyum kearahku, senyum yang tidak bisa kulupakan hingga saat ini.
Aku membalas senyumnya, dan hanya diam. Sambil sesekali memandanginya melukis. Lukisannya rapi dan indah, beda dengan lukisanku yang hampir mirip dengan lukisan abstrak.
“itu anak kelas lain kan?” tanya Yudi tiba-tiba.
“mungkin.... di kelas kan tidak ada anak seperti dia” jawabku sambil mengembalikan dunia nyataku.
“cantik juga dia” kata Yudi sambil nyengir. Dan makhluk indah itu pun berlalu dari pandangan.
Sejak saat itu aku mulai bertanya-tanya dalam benakku, apa makhluk tadi itu benar-benar gadis berambut sebahu? atau hanya mirip? tapi senyumnya benar-benar milik gadis berambut sebahu itu. Semakin aku mengingat, semakin aku bingung. Kuputar lagi ingatanku menuju saat dimana aku mengikuti lomba melukis dan bertemu dengan gadis berambut sebahu. Kuingat-ingat wajahnya, tapi tidak bisa, aku hanya ingat rambut dan senyumnya yang indah, tidak dengan wajahnya.
Saat pulang sekolah Yudi mengobrol tentang makhluk indah yang dia lihat tadi. Dia terkagum-kagum, mungkin dia langsung jatuh cinta begitu melihatnya tadi. Yudi bercerita panjang lebar, aku tidak benar-benar mendengar apa yang dia bicarakan, dan aku hanya meresponnya dengan senyum dan tawa. Dan dalam benakku tercampur aduk banyak pertanyaan. Mengapa aku merasakan deja vú begitu melihat senyumnya? bagaimana caraku mencari tahu bahwa makhluk indah tadi itu adalah gadis berambut sebahu? atau dia bukan gadis berambut sebahu? ataukah memang banyak makhluk indah yang memiliki senyum seperti itu?
Tidak terasa aku sampai di depan rumahku, kulihat Yudi melambaikan tangan agak jauh dariku. Aku benar-benar tidak merasakan jauhnya perjalanan ke rumahku.
Sampai di rumah aku langsung merebahkan tubuhku di kamarku, sambil berusaha mengingat-ingat senyum makhluk indah tadi dengan gadis berambut sebahu. beberapa lama aku memikirkannya, tetap tidak ada hasil. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba bertanya langsung pada makhluk indah itu suatu saat nanti. Dan aku pun tertidur.
***
_2 tahun kemudian
Akhirnya sekarang aku tahu siapa makhluk indah itu, yang dia bukanlah gadis berambut sebahu yang senyumnya tidak bisa kulupakan. Dan biarlah gadis berambut sebahu itu menjadi kenangan tak terlupakan sepanjang hidupku. Aku sadar, bahwa setiap makhluk indah itu memiliki daya tarik tersendiri, tapi kebanyakan hampir memiliki kesamaan. Mungkin seperti makhluk indah yang sekarang kutahu siapa dia dengan gadis berambut sebahu yang sampai sekarang tidak kutahu segala sesuatunya.

SEKIAN...

Gerbang Maut



Pagi-pagi aku bangun, kulihat jam di Hand Phone ku menunjukkan jam 06.45, sudah waktunya bel masuk, dan lima menit lagi aku terlambat. Segera aku loncat dari tempat tidur, kusambar seragam sekolah dan langsung kukenakan, tak lupa juga tas yang isinya buku pelajaran kemarin, dan segera berlari menuju ke kamar mandi untuk cuci muka. Selesai cuci muka langsung kurampas sepatu dari peraduannya dan langsung kupakai sambil berlari menuju sepeda motor, dan langsung kunyalakan. Kutarik gas beberapa kali dan langsung tancap gas menuju sekolah. Di jalan kusempatkan untuk sesekali melihat Hand Phone, jam menunjukkan pukul 6.49, 1 menit lagi aku benar-benar terlambat.
Sampai di gerbang, bertepatan dengan pak satpam hendak menutup gerbang. Segera kularikan sepeda motorku ke dalam sekolah, dan tepat dengan pak satpam menutup gerbang rapat-rapat. Aku menoleh ke belakang, ada beberapa siswa yang diusir oleh pak satpam karena terlambat, untung aku tidak terlambat. Langsung kuparkir sepeda motorku, dan berlari menuju kelas.
Kulihat seisi sekolah sepi, semua siswa telah memasuki kelas masing-masing. Aku berdiri di depan pintu kelas bertuliskan XII-IPA 3, inilah kelasku. Suasana di dalam ramai oleh lantunan doa teman-teman kelasku. Aku menunggu sampai pembacaan doanya selesai. Aku mengetok pintu dan mengucapkan salam setelah pembacaan doa selesai. Suasana di dalam langsung berubah menjadi riuh oleh suara teman-temanku yang mengoceh karena aku terlambat, termasuk Sahrul, temanku yang lebih sering mengejekku daripada menjelek-jelekkanku. Kulihat seisi kelas, ada beberapa anak yang tidak masuk tanpa keterangan, mungkin karena terlambat dan di usir.
Waktu istirahat, Sahrul, Rudy, dan Nizam menanyakan alasan aku terlambat.
“kenapa telat ta?” tanya Nizam.
“biasa zam, kesiangan” jawabku santai.
“kesiangan tok lu ta.. pas kapan yang gak kesiangan kalo malemnya online terus” sergah Sahrul yang banyak tahu tentangku.
“kayak aku ini ta, gak pernah telat...” kata Rudy membanggakan diri.
“alaaah lu rud, baru aja kemarin telat, sekarang bilang gak pernah telat” kataku sambil memukul bahu Rudy.
“aku yang telat tiga kali biasa aja tuh” kata Nizam yang memang sering telat.
“aku lho masih empat kali” Sahrul bangga karena diantara siswa di kelasku, dialah yang paling sering telat.
“memang ya gerbang itu banyak memakan korban, aku aja tadi hampir jadi korbannya, untung aku cepat-cepat masuk”
“ya memang... kita kasih nama tu gerbang dengan nama gerbang maut, gimana?” dengan mata berbinar-binar Sahrul mengajukan pendapatnya.
“bisa jadi..” jawab Rudy.
“ya.. soalnya hampir sama dengan cerita gerbong maut di pelajaran sejarah itu, kalo gerbong maut kan memakan banyak jiwa, kalo gerbang maut memakan banyak nilai” jelas Nizam dengan lagak seorang sejarawan.
“sip itu... kalo pak satpam gimana?” tanyaku.
“pak satpam itu lebih cocok jadi penjaga gerbang maut” jawab Rudy.
“wah bagus juga itu, cocok dengan tampang pak satpam yang lebih mirip penjaga makam” Nizam menambahkan dan membuat kami semua tertawa sampai meramaikan seisi kelas.

Keesokan harinya aku bangun lebih pagi dari sebelumnya, sehingga aku tidak lagi jadi korban gerbang maut. Dan pagi itu aku memilih untuk mandi. Tapi malangnya malah Sahrul dan Rudy yang jadi korbannya, tapi mereka tidak bisa masuk, dan di usir. Dalam hati aku tertawa karena merasa lucu, kemarin mereka yang paling jadi mengejekku, sekarang mereka merasakan sendiri akibatnya.
Kelas menjadi lebih sepi dari biasanya tanpa Sahrul dan Rudy, tapi masih ada Nizam yang membuat suasana sedikit ramai. Ternyata aku juga merindukan suasana seperti itu, meskipun terkadang aku merasa jengkel dengan keramaian.
Besoknya lagi aku bangun terlambat lagi. Seperti biasa, kupakai seragam, cuci muka, pakai sepatu, menyalakan sepeda motor, dan langsung ngebut.
Sampai di gerbang maut, kulihat gigi-gigi besinya menutup rapat, dan kulihat penjaga gerbang maut melambaikan tangan kedepan kebelakang tanda mengusir. Langsung aku lemas di sepeda motorku. Tiba-tiba Nizam menyapaku dari belakang, ternyata dia juga terlambat. Rasa kecewa menyelimuti wajahku, bukan karena apa, tapi seandainya aku benar-benar harus pulang, aku pasti hanya sendiri di rumah. Nonton TV sendirian, main laptop sendirian. Tiba-tiba rasa khawatirku terobati.
“waah... janjian telatnya nih” sapa Sahrul dan Rudy yang lebih telat dariku dan nizam.
“ayo kita hepi-hepi di luar...” ajakku dengan penuh semangat setelah aku sadar kalau aku tidak sendirian.
“ayooo...” jawab Sahrul, Rudy dan Nizam hampir bersamaan.
Aku, Sahrul, Rudy, dan Nizam berkeliling kota bersama-sama. Dengan memakai seragam lengkap, dan membuat jalan raya menjadi ramai oleh suara sepeda motor kami. Dalam benakku aku berkata, menjadi korban gerbang maut tidak sepenuhnya menyakitkan, jika kebersamaan terjalin di dalamnya, maka keindahan akan terjadi. Aku menikmati penderitaan menjadi korban gerbang maut bersama teman-teman yang mewarnai hidupku dengan tawa dan kegembiraan. Dan aku juga sadar, bahwa setiap penderitaan, seperih apapun penderitaan itu, akan menjadi indah jika menjalaninya bersama-sama dan penuh kepercayaan.
Selesai...