Thursday, August 31, 2017

Karma Cinta


Di suatu pagi di hari minggu, aku bersepeda santai mengelilingi kompleks perumahanku. Seperti biasanya. Cuacanya yang cerah membuatku bisa menikmati pagi ini. Tidak seperti minggu lalu yang membuatku harus berteduh di rumah sahabatku karena hujan yang datang begitu tiba-tiba kala itu.


Minggu-minggu sebelumnya aku selalu ditemani sahabatku setiap bersepeda. Biasanya kami mengadu stamina masing-masing, untuk menentukan siapa yang paling kuat mengelilingi kompleks beberapa kali. Seringkali aku kalah karena staminaku yang terbatas. Selain karena memang aku hanya bersepeda seminggu sekali, pekerjaanku yang melelahkan juga telah menguras staminaku selama seminggu.

Kuhentikan sepedaku di tempat dia biasa menungguku dengan sepedanya. Entah kemana dia kali ini. Mungkin dia masih tidur pulas di rumahnya. Kuraih hp-ku untuk mencoba menghubunginya.
Tuuuutt... klik.. “Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi.” Suara wanita terdengar lembut.
“Sibuk apanya tidur doang?” gerutuku dalam hati.
Tringg!” hp-ku berbunyi tanda notifikasi sms.
“Sory bro! Gue lagi ada kencan.” Isi sms dari sahabatku.
“Gitu lo ya? Lagi seneng gue dilupain.” Balasku.
“Haha sory bro. Gue lagi sepedaan sama Sari yang kita ketemu minggu lalu.” 
Aku teringat, aku menyapa seorang wanita yang juga bersepeda di tengah perjalanan sebelum akhirnya mengajaknya ikut berteduh di rumah sahabatku itu. Dan memang akhirnya aku membiarkannya mengobrol dengan sahabatku, jadi aku tidak tahu siapa namanya. Jadi namanya Sari. Memang wajahnya cukup manis, dan kemungkinan umurnya sedikit lebih muda dariku.
“Gitu lo ya? Gue yang bawa lo yang embat.” Kukirim balasan protes padanya.
“Salah sendiri lo kasih gue.” Balasnya. Lalu ada balasan lanjutannya “Sory lo sepedaan sendiri ya. Siapa tau nemu cewek lain di tengah jalan. Gud lak!” Tutupnya.

Aku hanya terlalu kaku untuk bisa mengobrol dengan wanita, apalagi wanita yang baru kutemui. Memang aku selalu gagal menjalin hubungan dengan wanita akibat kekakuanku. Haruskah aku belajar dari sahabatku? Karena wanita itu seperti anak kecil yang selalu ingin dimanja dan tidak suka kekakuan.

Lalu tiba-tiba seorang wanita menghentikan laju sepedanya tepat di sampingku begitu aku mulai bersiap melanjutkan perjalanan. Dia tersenyum padaku, aku membalas senyumnya karena aku mengenalnya.
“Kok tumben sendirian Yud? Mana Robi?” Tanyanya masih dengan senyum.
“Dia lagi kencan, gak mau diganggu.” Jawabku.
“Kita kencan juga yuk?” Ajaknya.
“Jangan harap.” Aku lalu mulai mengayuh sepedaku meninggalkannya, tapi dia menyusulku.
Akhirnya kita bersepeda beriringan, sambil mengobrol. Dia adalah tetanggaku, namanya Riska. Rumahnya tepat di seberang rumahku. Aku mengenalnya sejak dia pertama kali pindah ke kompleks ini sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Awalnya dia beserta keluarganya berkunjung ke rumahku,  lalu akhirnya dia sering ke rumahku atau aku ke rumahnya. Kami pun semakin akrab. Aku pun mulai menyukainya karena dia punya hobi yang sama denganku, yaitu bersepeda. Sampai akhirnya aku tahu sifatnya yang menyebalkan, membuat perasaanku padanya memudar.


Memang aku masih sering mengobrol dengannya, karena hampir setiap hari kami bertemu. Tapi perasaanku padanya tak lebih dari sebagai tetangga.
“Yuda, kamu tau gak?” Tanya Riska tiba-tiba.
“Apa? Jangan bilang kalau hari ini kamu belum nyubit orang.” Jawabku teringat dia yang sering mencubitku dengan alasan belum mencubit orang seharian.
“Ya itu juga. Tapi ada hal lain.” Terdiam beberapa saat. “Sebenarnya aku nahan kentut dari pagi biar bisa kentut di depanmu.” Dia mengucapkannya tergesa-gesa sambil mengayuh sepedanya agar berada di depanku. Lalu.. brruuuutttt.... dia melepasnya tepat di depanku sambil mengangkat bokongnya sejajar dengan wajahku. Aku sempat menghindar tapi juga terkena serangan gasnya, karena timingnya yang pas dengan aku yang masih kebingungan tentang apa hal lain yang ingin dia sampaikan, membuatnya tertawa puas melihat wajahku yang memerah akibat kentutnya.
“Kentutmu bisa mempercepat global warming tau? Dan gak ada cowok yang mungkin mau sama cewek bau kentut sepertimu!” Protesku dengan nada kesal.
“Biarin! Kamu juga gak mungkin ada cewek yang mau sama cowok gak peka kayak kamu.” Dia masih tertawa puas sambil tetap mengayuh sepedanya.
Aku masih melanjutkan dengan santai, karena aku sudah terbiasa dengan tingkah menyebalkannya itu. Biarlah dia tertawa puas, karena aku juga sudah terbiasa ditertawakan seperti itu olehnya. Dua kali sudah aku merasa kesal hari ini, setelah sahabatku Robi kini tidak mau menemaniku bersepeda karena sibuk kencan, ditambah wanita aneh yang entah dari planet mana ini membuatku naik darah pagi-pagi. Staminaku terkuras saat itu juga akibat menahan emosi.


Akhirnya aku pulang dengan mood tidak baik kali ini. Seharusnya bersepeda bisa membuat tekanan batinku menurun, malah sebaliknya kualami. Aku menggerutu sepanjang sisa pagi ini.

Sorenya aku bersepeda menuju rumah Robi, sekedar penasaran bagaimana perkembangan kencannya dengan Sari. Aku berani bertaruh dia sedang berbunga-bunga saat ini.

Kulihat pintu rumahnya terbuka, jadi langsung saja kuparkir sepedaku dan masuk ke dalam setelah mengucap salam. Dia sedang di ruang tamu bersama ibunya, tante Yanti, mereka tengah fokus menonton drama India di televisi. Aku yakin Robi tidak menontonnya dengan sungguh-sungguh, karena kulihat dia senyum-senyum sendiri meskipun adegannya sedih.
“Tante, sepertinya Robi kerasukan, jadi dia biar saya ajak cari udara segar dulu ya?” Pamitku pada tante Yanti.
“Iya cepetan bawa. Dia mengganggu konsentrasi dari tadi.” Suruh tante Yanti sambil menyeka matanya yang berair.
“Sini lo ikut gue.” Kutarik lengan Robi yang masih duduk dengan senyumnya yang masih merekah.
Kutarik Robi menuju teras rumahnya untuk memulai investigasi.
“Udah ngapain aja lo sama si Sari sampek seneng banget gini?” Tanyaku memulai.
“Gak ngapa-ngapain sih, cuma bersepeda aja keliling kopleks.” Jawabnya masih dengan senyum, tapi pandangannya jauh ke depan.
“Lo pasti gombalin dia juga kan? Terus dia jadi malu-malu dan lo seneng. Kayak dulu waktu lo naksir Riska.”
“Gak usah bahas Riska, dia buat lo aja. Lagian sekarang masa depan gue udah jelas sama Sari.”
“Yaelah baru sepedaan keliling kompleks udah ngomongin masa depan lo. Nanti kalau akhirnya lo tau sifat aslinya gimana? Mau nangis lagi?” 
“Gue yakin Sari gak seburuk yang lo kira. Lo tau gak dia bilang seneng banget bisa sepedaan bareng gue? Disitu gue tambah yakin kalau dia itu ditakdirkan buat gue.” Dia kini menatapku.
“Terserah lo dah kalau gitu. Jadi mulai minggu ini dan seterusnya lo gak bisa sepedaan bareng gue lagi kan?” Aku hanya ingin memastikan apakah minggu depan aku masih harus menjemputnya.
“Gue sih maunya kita tetap sepedaan bareng. Jadi bertiga gitu. Tapi gue kasihan lo entar ngerasa jadi obat nyamuk. Terus gimana dong?”
“Gue ngerti maksud lo, gak usah sok bingung gitu. Biarlah aku menjalaninya seorang diri, meski ribuan kilometer kujalani, ku kan tetap menjalaninya sepenuh hati.” Sedikit kulontarkan puisi untuk mempertegas keputusanku.
“Lebay lo pake puisi segala. Lo itu emang sobat gue yang paling pengertian Yud.”
“Itulah gunanya sahabat bro.”
Aku dan Robi saling berangkulan dan menepuk pundak masing-masing.



***

_sebulan kemudian

Orang-orang berlalu-lalang, saling bercengkerama menikmati pagi sebelum datangnya siang. Mentari bersinar cukup terik, mencipta siluet yang kadangkala menimbulkan tanya tentang apa yang tergambar olehnya.

Sambil menikmati air mineral masing-masing, aku, Robi, Riska, dan Sari duduk saling berhadapan di bangku panjang yang tersedia di taman kompleks. Dengan wajah tegang Robi tengah bersiap mendengarkan tentang hal penting apa yang ingin disampaikan Sari padanya. Sementara aku dan Riska diminta untuk menjadi penonton.

“Robi, maaf sebelumnya.” Sari mulai berbicara, suasana semakin tegang.
“Tentang apa Sar?” Robi mulai gusar.
“Sebenarnya dari awal kita bertemu, bukan kamu yang aku suka. Tapi Yuda.” Sari menatapku, bersiap untuk melanjutkan. “Dari awal aku memang menyukai Yuda, sampai aku mau diajak bersepeda sama kamu juga biar aku bisa bersepeda bareng Yuda juga. Tapi entah apa yang kalian obrolin sampai Yuda gak lagi bersepeda sama kamu. Kamu pernah janji mau ajak Yuda barengan, tapi kamu gak berhasil membujuk Yuda, dari situ aku mulai males bersepeda sama kamu.” Sari tertunduk seakan menahan perasaannya yang berkecamuk.
Degg.. jantungku serasa berhenti berdetak. Bukan karena perasaan Sari padaku, tapi karena membayangkan betapa hancurnya perasaan Robi saat ini. Sesekali aku menatap Robi yang masih tertunduk, dengan perasaan yang begitu hancur, dan emosi yang tengah campur aduk mengingat perasaannya yang terlampau jauh pada Sari ditolak begitu saja bahkan tak terbalaskan sedikitpun. Aku yakin, malam ini dia akan menangis semalaman dan aku harus menemaninya, menemani kesedihannya.
“Sari, aku juga mau minta maaf.” Aku kini angkat bicara, menilai dari situasinya tak mungkin Robi maupun Sari mau melanjutkan pembicaraannya. “Sama sepertimu, dari awal aku tidak punya perasaan apapun padamu. Itulah mengapa aku memilih membiarkan kalian bersepeda berdua, karena aku mendukung sepenuhnya perasaan Robi padamu. Kini aku sudah punya Riska, meskipun awalnya aku merasa perasaanku padanya hanya sebatas tetangga, tapi akhirnya aku sadar, sadar bahwa aku bisa menerima kekurangannya, sikapnya yang terkadang aneh dan menyebalkan. Dia pun bisa menerima dan sangat memahami kekuranganku. Aku merasa sedang mendapat karma, saat sebelumnya aku dan Riska saling mengejek kekurangan masing-masing, sekarang apa? Malah kita saling bisa menerima. Jadi..”
“Sudahlah, kini semuanya sia-sia buat gue.” Belum sempat aku melanjutkan, Robi tiba-tiba angkat bicara. “Gue tunggu lo di rumah nanti malam, seperti biasa.” Robi pun bergegas menuju sepedanya terparkir, meninggalkanku dengan nada kecewa terlontar dari mulutnya.
“Gue pasti datang bro!” Kukeraskan suaraku untuk mempertegas bahwa aku masih sahabatnya, meski apapun yang terjadi.

Kini yang tersisa bisu, hanya suara derap kaki yang berlalu-lalang. Sari tertunduk dalam, mungkin tengah menutup rapat kelopak matanya mencegah air matanya tumpah di hadapanku. Riska masih di sampingnya, merangkulnya menyediakan pundak untuknya bersandar. Dia berbisik agar aku segera meninggalkan mereka berdua, aku tahu Riska ingin membiarkan Sari menangis sekeras mungkin dengan aku tidak lagi di hadapannya.


_malamnya

Buakk!.. Robi menghantam kepalaku dengan gulingnya sekuat tenaga. Tak mau kalah kuayunkan gulingku mengenai wajahnya sekuat tenaga.
“Kampret lo! Bisa-bisanya Sari suka sama lo?” Robi berteriak sekeras-kerasnya.
“Sialan lo! Gue kira lo bakalan nangis kayak biasanya!” Aku protes sambil mengayunkan gulingku ke arahnya, Robi juga telah siap untuk membalas.
Buakk! Bakk! Bukk!! Begitulah seterusnya hingga malam berakhir.



BERSAMBUNG...

No comments:

Post a Comment