Dua bulan berlalu sejak kecelakaan
menimpaku, kini aku telah pulih sepenuhnya, meski masih dibantu tongkat untuk
berjalan karena tulang pahaku yang belum tersambung sempurna. Walaupun begitu
aku sangat bahagia, bahagia karena selalu ada tongkat hidup yang bersedia
menopangku kemana saja. Seseorang yang sangat spesial bagiku, dan aku pun
spesial baginya. Ika Nurlaila, yang kini menjadi kekasihku sejak dia dengan
berani mengungkapkan perasaan sayangnya padaku kepada orang tuaku. Dan bersedia
menemani dan merawatku sampai sembuh total.
“Jalannya pelan-pelan dong sayang, biar
cepat sembuh.” Ucapnya lembut penuh perhatian, dengan tangannya melingkari
lenganku.
“Gak apa-apa biar kakiku terlatih dan
terbiasa.” Ucapku sambil mempercepat langkahku.
“Tapi kan pelan-pelan juga bisa.”
Protesnya.
“Iya-iya. Gak usah manyun gitu dong, nanti
manisnya hilang.” Sambil kubelai lembut pipinya, membuat senyumnya kembali
merekah.
“Iiihh.. kamu gombal terus. Jalan sendiri
aja.” Ucapnya lalu melepas rangkulannya dari lenganku.
“Ngambek terus.”
Langkah kaki ini semakin ringan seiring
bergantinya hari. Semangatku untuk sembuh selalu terpompa berkat dukungan tanpa
henti yang Ika berikan. Memang dia sesekali bosan denganku karena aku yang
selalu merayunya, tapi itu tidak pernah bertahan lama. Begitulah hubungan, sama
halnya dengan roda kehidupan yang kadang di atas dan kadang d bawah, juga pasti
akan kembali lagi seperti semula.
Ika selalu siap kapanpun aku ingin
jalan-jalan keluar, karena aku telah hafal jadwalnya sibuk dengan kuliahnya.
Dia sempat cuti kuliah selama 3 minggu akibat kecelakaan waktu itu, jadi dia
harus ngebut mengejar ketertinggalannya. Sedangkan aku harus cuti kerja sampai
benar-benar sembuh, karena bosku yang baik hati tidak tega untuk melihat
karyawannya yang bekerja mengandalkan kakinya harus bekerja dengan kondisi
pincang. Aku bekerja di pabrik sepatu milik pamanku, dan tugasku adalah
mondar-mandir mencatat setiap detail hasil produk yang dikerjakan karyawan
lain, lalu mendistribusikannya ke berbagai tempat sesuai pesanan.
“Duduk dulu ya. Capek aku.” Aku duduk di
depan sebuah toko saat kakiku mulai terasa letih. Ika masih bersamaku dengan
tatapannya yang penuh perhatian.
“Sayang.. terimakasih karena kamu sudah
bersedia menjadi pendamping hidupku.” Ucapku sambil menggenggam tangannya.
“Seharusnya aku yang berterimakasih.
Berkat kamu aku jadi tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dengan begitu dalam,
bahkan aku masih ingin untuk masuk lebih dalam lagi. Berbeda sekali dengan
perasaanku sebelumnya yang kusebut cinta, karena kali ini aku benar-benar jatuh
cinta.” Nadanya sungguh-sungguh dengan senyum manisnya kembali merekah.
Aku tidak bisa berkata apa-apa, perasaanku
bergejolak tak bisa kutahan, sampai ingin sekali aku menciumnya. Kudekati
wajahnya, dia mulai menutup mata.
“Woy! Pacaran jangan di depan toko gue!”
Bentak pemilik toko yang tiba-tiba keluar untuk protes dengan nada tinggi, urat
lehernya menyembul keluar.
“Maaf Om kami gak bermaksud. Cuma gak kuat
tadi.” Aku salah tingkah dan beringsut meninggalkan tempat itu.
“Dasar anak muda jaman sekarang!” Sambung
pemilik toko, membuat sedikit keributan diantara para pengunjung tokonya.
Salah tingkah dan malu kurasakan,
bisa-bisanya aku lupa daratan. Kulihat Ika hanya tertunduk dalam, wajahnya
merah padam menahan malu.
“Maaf ya barusan aku gak sadar tempat.
Malu banget aku.” Tak sanggup aku menghadapi Ika jika kejadian barusan
membuatnya marah.
“Gak apa-apa kok. Yang penting gak ada
yang marahin lagi.” Ucapnya pelan, masih menunduk.
“Eeehhh??”
***
_seminggu kemudian
Suara berisik mesin pemotong, suara mesin
jahit, aroma sol karet, dan suara para pekerja yang bercengkerama memenuhi
ruangan. Aku yang masih mondar-mandir mengecek kesiapan produk yang akan segera
dikirim. Yup, aku telah kembali bekerja dan aku telah sembuh sepenuhnya, jadi
aku harus bekerja lebih giat lagi agar mendapat gaji lebih setelah 2 bulan
cuti. Mulai sekarang aku harus lebih rajin menabung, agar suatu saat nanti aku
telah siap untuk menikahi Ika. Telah kubulatkan tekad bahwa aku akan
menikahinya. Perasaanku yang kian hari kian besar padanya, membuatku
memantapkan keputusanku.
“Kak Eko, sudah siap belum?” Suara lembut
yang berasal dari Yuni, anak pamanku atau lebih tepatnya sepupuku, membuyarkan
lamunanku.
“Eh iya dek, sedikit lagi.” Jawabku
bergegas menyortir sepatu yang telah terbungkus rapi.
“Papa bilang cepetan, biar gak keburu
siang.” Pesan Yuni lalu bergegas keluar.
Mobil boks pengantar sepatu yang
dikemudikan sendiri oleh pamanku melaju kencang membelah kota, mengantar setiap
pesanan menuju tuannya masing-masing.
“Kakimu gak kumat lagi kan Ko?” Tanya
pamanku tiba-tiba dengan masih fokus ke jalanan.
“Sudah sembuh kok, man. Cuma masih belum
bisa dibawa lari.” Jawabku.
“Ya jangan lari , nanti patah lagi terus
cuti lagi, jadi aku yang harus gantiin, nambah kerjaanku.” Ucap Yuni menatapku.
Dia berada di tengah antara aku dan paman, karena tubuhnya yang mungil jadi
terasa lebih leluasa meskipun harus berisi 3 orang.
Sepanjang perjalanan diisi obrolan santai
ala keluarga, bukan antara bos dan karyawan. Sesekali gelak tawa pamanku yang
khas terdengar membahana setiap menceritakan hal-hal yang menurutnya lucu, aku
hanya mengikuti saja bagaimana ceritanya. Beberapa kali aku harus pura-pura
ingin tahu saat paman mencoba membuatku penasaran, agar gurauannya jadi
terdengar sempurna, dan agar dia bisa mengeluarkan kembali tawanya yang khas
itu. Dan Yuni yang mungkin telah bosan dengan cara pikir ayahnya, memilih untuk
membisu sepanjang perjalanan. Hanya saat aku menceritakan awal mula pertemuanku
dengan Ika, dia begitu antusias ingin mendengarnya dari awal sampai akhir. Dia
merasa kagum pada Ika begitu kuceritakan tentangnya. Kini ekspresinya lebih
seperti anak kecil yang selalu penasaran dan penuh tanya. Jadi harus
kuceritakan sedikit demi sedikit, hingga sampai pada saat Ika menyatakan
perasaannya. Tidak bisa kuceritakan kejadian memalukan di depan toko waktu itu,
bisa-bisa itu membuatnya menertawaiku membuatku semakin malu.
Akhirnya mobil boks telah sampai di depan
pabrik dengan muatan yang telah kosong, pamanku menghentikan lajunya dan
bergegas turun. Aku turun duluan lalu disusul Yuni.
“Eh kak. Kalian pernah ciuman gak?” Tanya
Yuni tiba-tiba dengan wajah lebih penasaran. Dia terus membuntutiku.
“Kasih tau gak ya?” Jawabku
mengacuhkannya.
“Ayo dong kak, kasih tau.” Dia semakin
penasaran.
“Kamu itu masih kecil, gak perlu tau.”
“Siapa yang masih kecil? Aku udah SMA tau?
Lagian kan tinggal jawab pernah atau belum, lalu selesai.” Protesnya dengan
nada kesal.
“Privasi.” Jawabku santai lalu berpaling
darinya.
“Gubrakk!” Aku jatuh terjungkal ke
belakang setelah Yuni menarik lengan bajuku, aku kehilangan keseimbangan. Tidak
begitu sakit, mungkin hanya lenganku lecet akibat menopang jatuhku.
“Eh aduh maaf kak aku gak bermaksud.” Yuni
panik sambil membantuku berdiri.
“Eko sayang.. Kamu kenapa? Kok bisa
jatuh?” Tiba-tiba Ika berlari menghampiriku entah dari mana.
Dia mendorong Yuni agar menjauh, mungkin
pikirnya Yuni hendak mencelakaiku.
“Gak apa-apa. Aku cuma kehilangan
keseimbangan. Kamu kok tiba-tiba ada disini?” Aku berusaha bangkit perlahan
dibantu Ika.
“Aku nungguin kamu disini dari tadi. Aku
bawain kamu makanan buat makan siang, tapi kamu malah bercanda sama cewek ini.”
Ika menunjuk Yuni dan membuatnya sedikit kaget.
“Gak usah cemburu gitu lah, dia ini
sepupuku. Anak dari pamanku yang punya pabrik sepatu ini.” Kucoba menjelaskan.
Kupinta Yuni agar memperkenalkan dirinya
dan menjelaskan situasinya. Sejenak wajah Ika sedikit memerah saat Yuni
menyinggung tentang ciuman.
“Sudah jelas kan?” Tanyaku memastikan, dan
dijawab dengan anggukan Ika. “Kamu bawa nasi goreng kan?” Lanjutku.
“Kok tau?”
“Dari aromanya tercium kesungguhan seorang
wanita yang membuatnya demi pria yang disayanginya.” Tanganku telah bersiap
menerima kotak bekal itu.
“Kata siapa ini buat kamu? Ini untukku
sendiri kok.” Ucapnya berpaling.
“Udah siniin, cacing di perutku udah pada
demo semua. Gak tahan dengan aroma nasi goreng cinta yang kamu bawa.” Masih
berusaha meraih kotak bekal dari tangannya.
“Iiihhh.. malessin banget sih kamu? Ya
udah nih.” Akhirnya dia luluh, dia sodorkan kotak bekal itu dengan menunduk
sambil menahan senyum.
“Nah gitu dong dari tadi. Yuk ikut aku.”
Kuraih tangannya.
Kupinta Yuni untuk meninggalkan kami
berdua. Tak lupa kubisikkan padanya untuk menutup jendela samping pabrik, juga
memintakan izin istirahat siang pada paman. Dia hanya mengangguk bergegas masuk
pabrik.
Ika hanya manut begitu kuajak ke samping
pabrik, disana terdapat beberapa bangku panjang tempat biasa para karyawan
beristirahat. Sekarang mereka masih bekerja karena waktu istirahat masih 30
menit lagi.
“Sebelum makan, aku ingin tanya sesuatu.”
Ucapku begitu kami duduk di bangku yang paling dekat dengan dinding. Ika hanya
diam menungguku melanjutkan. “Aku tau jawabannya sudah jelas. Tapi aku ingin
memastikannya lagi. Kamu serius denganku kan?” Kutatap matanya hingga tatapan
kami bertemu.
Ika mengangguk pasti. Tiada keraguan pada
anggukannya. Kugenggam kedua tangannya, terasa hangat.
“Mulai sekarang aku janji akan bekerja
dengan sungguh-sungguh, menabung sedikit demi sedikit, demi masa depan kita.
Suatu saat aku pasti akan menikah denganmu, aku janji. Jadi kamu juga harus
berjanji untuk selalu percaya pada perasaanku. Perasaanku padamu yang
takkan tergantikan. Janji?” Ucapku masih menatapnya, kugenggam tangannya erat.
“Iya aku janji.” Ika mengangguk pasti
dengan senyum merekah.
Perasaan ini kembali bergejolak.
Perasaan yang sama seperti waktu itu. Tanpa pikir panjang, kudekatkan
wajahku padanya. Kubelai lembut pipinya yang imut. Dia mulai menutup matanya
dan mengangkat sedikit wajahnya.
“Cieeee.....
melamar nih ceritanya?” Para karyawan tiba-tiba bersorak dan berdesakan
mengintip keluar jendela. Yuni berada di antara mereka. Entah sejak kapan
mereka menguping pembicaraan kami, tapi mereka memilih waktu yang tepat untuk
mengganggu.
“Wah.. romantis banget!” Teriak Yuni tak
mau kalah.
Aku terlalu kaget hingga tak sanggup
berkata apa-apa. Kaget bercampur malu kurasakan, yang terjadi untuk kedua
kalinya.
Akhirnya aku dan Ika menikmati bekal makan
siang bersama para karyawan yang lain. Sesekali gelak tawa bergemuruh saat
mereka menyinggungku, membuat tawaku berbaur bersama tawa mereka. Ika pun ikut
tertawa, gembira karena kebersamaan dan kekeluargaan yang tercipta siang itu.
Aku telah berjanji. Janji yang pasti akan
kutepati. Karena aku akan berusaha yang terbaik demi menepati janji itu suatu
saat nanti.
SELESAI..